Dengan Redenominasi, Nanti Uang Satu Juta jadi Seribu Rupiah

Sebuah kabar mengejutkan dari Gubernur BI, Ia berencana untuk redenominasi mata uang indonesia sehingga “satu juta jadi seribu rupiah”. Targetnya, sepuluh tahun ke depan redenominasi Rupiah sudah bisa tuntas. Untuk itu, BI telah menyiapkan tahap-tahapan redenominasi Rupiah.

Kepada wartawan di Jakarta, Selasa 3 Agustus, Darmin menjelaskan bahwa rencana penyederhanaan mata uang rupiah alias redenominasi tersebut dilakukan karena pecahan mata uang Rupiah sudah sangat besar. Menurut Darmin, saat ini mata uang Rupiah menjadi pecahan terbesar ketiga di dunia (100.000) setelah mata uang Dong Vietnam (500.000) dan Dolar Zimbabwe (10 juta).

“Selama ini kan tidak efisien. Untuk melakukan pembayaran dalam jumlah besar, harus membawa uang dalam tas. Ini kita sederhanakan nilai uangnya menjadi lebih kecil tanpa mengurangi nilai mata uang itu sendiri,” jelas Darmin.

Darmin menegaskan, redenominasi Rupiah kali ini sama sekali beda dengan apa yang dilakukan di era Presiden Soekarno. Menurutnya, redenominasi bukanlah pemotongan nilai uang yang diikuti penurunan nilai barang (sanering) seperti pernah dilakukan pemerintah pada tahun 1960-an. Sebaliknya, redenominasi adalah penyederhanaan mata uang menjadi lebih kecil tanpa mengubah nilainya.

Artinya, pecahan mata uang disederhanakan tanpa mengurangi nilai dari uang tersebut. Misalnya Rp 1.000 menjadi Rp 1 atau Rp 1 juta menjadi Rp 1.000. Bila sebelumnya membeli minuman seharga Rp 1.000, maka nantinya tetap membeli minuman Rp 1.000 dengan pecahan uang Rp 1.

“Jadi, ini bukan sanering, bukan pemotongan. Sanering dilakukan bila suatu negara dalam situasi merugi dan inflasi tinggi. Artinya karena inflasi tinggi, daya beli mata uangnya merosot makanya perlu dilakukan pemotongan. Tapi sekarang kita kan sebaliknya. Makanya, redenominasi karena hanya bisa dilakukan kalau perekonomian sedang stabil. Kita sekarang sedang stabil,” kata Darmin panjang lebar.

Deputi Gubernur BI Budi Rochadi menambahkan, redenominasi sudah pernah dilakukan Indonesia pada tahun 1966. Namun karena saat itu inflasi di Indonesia sedang tinggi, maka redenominasi yang diberlakukan pemerintah justru gagal mengamankan perekonomian.

Menurut Budi, saat itu uang Rp 1.000 menjadi Rp 1. Karena gagal, tahun itu juga BI sekaligus melakukan sanering, yakni melakukan pemotongan uang di mana yang dipotong hanya nilai uangnya saja.

“Jadi kita sudah pernah redenominasi sekali dan sanering sekali. Waktu itu karena inflasi, redenominasi gagal. Sekarang kita usulkan lagi wacana redenominasi karena inflasi kita sudah terkendali,” kata Budi.



Untuk mendukung langkah redenominasi mata uang Rupiah, BI pun telah menyiapkan tahapan-tahapan redenominasi. Tahun 2011 hingga tahun 2012, akan dijadikan masa sosialisasi kepada masyarakat tentang redenominasi. Di tahun 2013 hingga tahun 2015, menjadi masa transisi. Selama masa ini, nantinya harga barang akan ditulis dalam dua harga yakni terdiri atas Rupiah lama dan Rupiah baru.

Misalnya, barang seharga Rp10.000 akan ditulis dalam dua harga yaitu Rp10.000 dan Rp10 (baru). Selanjutnya, masyarakat akan mengenal yang namanya Rupiah lama dan Rupiah baru. Selama masa transisi ini pula, semua pembayaran termasuk pengembalian akan menggunakan keduanya. Sementara itu, BI perlahan-lahan akan mengganti uang Rupiah lama dengan uang Rupiah baru.

Pada tahun 2016 hingga 2018, BI menargetkan uang kertas yang beredar saat ini atau Rupiah lama, akan benar-benar habis di masyarakat. BI pun akan melakukan penarikan uang Rupiah lama dan menggantinya dengan uang Rupiah baru.

Tahun 2019 hingga tahun 2020, BI menargetkan seluruh uang Rupiah lama sudah tergantikan dengan uang Rupiah baru. Masyarakat Indonesia akan menggunakan uang Rupiah yang ada saat ini namun dengan nilai yang lebih kecil. Untuk mata uang kecil ini nantinya akan berlaku kembali uang koin dan nilai pecahan sen.

Redam Pasar

Isu redenominasi yang dilontarkan bank sentral tersebut langsung memicu gejolak pasar. Sebagai gambaran, kemarin Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) membukukan penurunan tajam di bawah level 3.000, kemarin. Indeks bursa lokal tersebut ditutup melemah 85,32 poin atau 2,79 persen ke posisi 2.973,66. Penurunan IHSG ini tercatat sebagai penurunan terbesar di Asia.

Saham yang mengalami penurunan besar di antaranya PT Astra International Tbk (ASII) yang turun Rp 2.450 ke Rp 47.500 dan PT Astra Otoparts Tbk (AUTO) turun Rp 600 ke Rp 15.900. Begitu pula saham di sektor konsumsi yang membukukan penurunan terbesar sebanyak 35,53 poin. Saham PT Gudang Garam Tbk (GRGM) juga turun Rp 850 ke Rp 35.450 dan PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) turun Rp 650 ke Rp 16.100.

Kemarin, nilai transaksi di Bursa Indonesia tercatat Rp 4,92 triliun dengan volume sebanyak 4,69 miliar lembar saham. Sebanyak 196 saham melemah, 43 saham menguat, dan 52 saham tidak berubah harga.

Sentimen negatif dari pasar saham dan wacana redenominasi membuat rupiah juga tertekan. Kemarin, rupiah melemah tipis ke level Rp 8.941 per USD, turun dibanding angka pada perdagangan sebelumnya Rp 8.938 per USD.

Atas gejolak tersebut, mantan Gubernur BI yang kini “naik pangkat” menjadi Wakil Presiden, Boediono, langsung turun tangan menenangkan pasar. Ia menegaskan bahwa redenominasi Rupiah masih berupa studi. Untuk itu, Boediono meminta semua pihak menjaga ketenangan dan tidak terpengaruh dengan hasil studi yang belum menjadi sebuah kebijakan.

Hal itu disampaikan Wapres Boediono usai rapat mendadak bersama Menkeu Agus Martowardojo dan Gubernur terpilih BI Darmin Nasution. “Sekarang yang penting jaga suasana kestabilan dan ketenangan, tidak usah terpengaruh oleh hasil studi,” kata Wapres yang saat konferensi pers tidak didampingi Darmin.

Boediono mengatakan, studi mengenai redenominasi sudah lama dilakukan bank sentral. Studi mengenai hal ini dilakukan bersamaan dengan kajian sistem keuangan secara jangka panjang.

Dia mengatakan, redenominasi bukan dilakukan karena perekonomian yang memburuk. Sebaliknya, redenominasi malah dilakukan saat ekonomi membaik. “Redenominasi dilaksanakan justru saat ekonomi bagus di mana bisa dilakukan perubahan,” kata Boediono.

Ia mengakui, salah satu yang harus diperhatikan dalam redenominasi adalah inflasi. “Kita tidak ingin ada dampak berat pada inflasi. Kalaupun di masa depan ada redenominasi, nanti kapan saya tidak tahu, yang jelas kalau ada policy seperti itu, jangan sampai ada dampak negatif memberatkan,” kata Boediono.

Pengalaman dari negara lain juga akan masuk dalam pertimbangan studi. Selain itu, kata Boediono, pemerintah tetap berkomitmen menjaga inflasi dengan memperlancar arus barang.


(Ref: Dari berbagai sumber)



Ditulis Oleh : Wahyu Winoto, S.Pd. Hari: 3:08:00 AM Kategori:

0 komentar: