Syarat Diterima dan Penyebab Tertolaknya Amal Ibadah Kita



A. Bagaimana Supaya Amal Ibadah Kita Diterima Allah Ta’ala

Para ulama berdasarkan hadits-hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah membuat kaidah yang menjadi asas dalam Islam agar amal ibadah seorang muslim diterima oleh Allah Ta’ala.

Pertama : Ikhlas, yaitu mengerjakan amal ibadah semata-mata karena Allah Ta’ala, tidak karena yang lain dan tidak juga karena Alla Ta’ala dan pada saat yang bersamaan karena yang lain juga.

Kedua : Ittiba’, yaitu mengikuti Sunnah (contoh) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Bagaimana jika hanya salah satu saja syarat yang terpenuhi baik itu yang pertama saja maupun yang kedua saja, apakah amal ibadah kita diterima oleh Allah Ta’ala? Mari kita baca bersama-sama dalil-dalil dan pendapat ulama di bawah :

Dalil Pertama :

“(Allah) yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kamu, siapakah di antara kamu yang paling baik amalnya” (al-Mulk 2).

Alla Ta’ala tidak mengatakan ‘yang paling banyak amalnya’ akan tetapi ‘yang paling baik amalnya’. Fudhail bin ‘Iyaadh menafsirkan ayat ini dengan:

“yang paling ikhlas dan yang paling benar.” Mereka bertanya : Wahai Abu Ali (panggilan kunyah bagi Fudhail) apakah yang dimaksud dengan yang paling ikhlas dan paling benar? Jawab Fudhail : “Sesungguhnya amal itu apabila dikerjakan dengan ikhlas akan tetapi tidak benar niscaya tidak akan diterima. Dan apabila amal itu dikerjakan dengan benar akan tetapi tidak ikhlas niscaya tidak akan diterima sampai amal itu dikerjakan dengan ikhlas dan benar. Dan yang dimaksud dengan ikhlas ialah amal itu karena Allah (lillah). Dan yang dimaksud dengan benar ialah amal itu atas dasar Sunnah.”

Fudhail bin ‘Iyaadh adalah seorang tabi’ut tabi’in. Imam yang tsiqah dan masyhur dengan kezuhudan dan ibadahnya. Seorang rawi yang dipakai oleh Bukhari dan Muslim dan lain-lain (tahdzibut tahdzib no. 5647.

Tabi’ut tabi’in adalah generasi umat islam setelah shahabat dan tabi’in. Masih termasuk dalam generasi yang oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam disebutkan sebagai generasi terbaik dalam haditsnya :

“Sebaik-baik generasi adalah generasiku (shahabat), kemudian sesudahnya (tabi’in), kemudian sesudahnya (tabiut tabi’in)”. (HSR Bukhari dan Muslim).

Dalil Kedua :

“Barangsiapa yang mengharap (ganjaran dan balasan yang baik) akan perjumpaan dengan Tuhannya, maka ia hendaklah mengerjakan amal shalih dan janganlah ia menyekutukan dengan sesuatu pun juga dalam beribadah kepada Tuhannya.” (al-Kahfi 110).

Di dalam ayat tersebut, terkumpul dua asas yang merupakan syarat diterimanya sesuatu amal itu :

Pertama : “Hendaklah dia beramal shalih yakni atas dasar Sunnah mengikuti syari’at Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.”

Kedua : “Janganlah ia mempersekutukan dengan sesuatu pun juga dalam beribadah kepada Tuhannya.” Yakni lillah (karena Allah) menafi’kan (menghilangkan) segala macam kesyirikan dan peribadatan kepada selain Allah Ta’ala.

Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan :

“Dan inilah dua rukun amal yang maqbul (diterima), tidak dapat tidak amal itu harus ikhlas karena Allah dan benar atas (dasar) syari’at Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.”

Dalil Ketiga :

Dari Abu Hafsh Umar Ibnu Khattab radhiyallaahu ‘anhu ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaih wa sallam bersabda : “Sesungguhnya setiap amal itu tergantung dari niatnya…(HSR Bukhari dan Muslim).

Syaikh Salim bin ‘Ied al Hilaly dalam kitab Bahjatun Naadziriin menurunkan 5 pengertian terhadap hadits ini yang 4 diantaranya adalah :

* Niat merupakan suatu keharusan dalam suatu perbuatan, baik itu yang ditujukan pada wujud perbuatan itu sendiri, seperti sholat misalnya, maupun sesuatu yang menjadi sarana bagi perbuatan lainnya, seperti thaharah (bersuci). Yang demikian itu karena ikhlas tidak tergambar wujudnya tanpa adanya niat.
* Niat itu tempatnya di dalam hati dan tidak perlu dilafazhkan dengan lisan. Yang demikian itu sudah menjadi kesepakatan para ulama, dalam semua ibadah : thaharah, sholat, puasa, zakat, haji, pemerdekaan budak, jihad dan ibadah-ibadah lainnya.
* Amal-amal yang shalih harus disertai dengan niat-niat yang baik. Niat yang baik tidak akan mengubah kemunkaran menjadi kebaikan dan bid’ah menjadi sunnah.
* Ikhlas karena Allah Ta’ala merupakan salah satu syarat diterimanya amal perbuatan. Sebab, Allah Ta’ala tidak akan menerima amal perbuatan kecuali yang paling tulus dan benar. Yang paling tulus adalah amal yang dilakukan karena Allah, dan yang paling benar adalah yang sesuai dengan Sunnah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam yang shahih.

Dalil Keempat :

Dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha ia berkata :”Barangsiapa mengada-ada (sesuatu) dalam urusan (agama) kami ini, padahal bukan termasuk bagian di dalamnya, maka dia itu tertolak.” (HSR Bukhari 5/301 no. 2697, Muslim 12/61).

Dalil Kelima :

Dari ‘Aisyah ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam “Barangsiapa mengamalkan amalan yang tidak ada dasarnya dalam urusan (agama) kami, maka dia tertolak.” (HSR Muslim 12/16).

Syaikh Saliem bin ‘Ied al Hilaly memberikan penjelasan terhadap hadits tersebut sebagai berikut :

* Mengada-ada sesuatu dalam masalah agama merupakan sesuatu yang tidak dapat diterima, bahkan harus ditolak. Dan Allah Ta’ala tidak akan menganggapnya (menerimanya) bagi pelakunya pada hari kiamat kelak.
* Hadits di atas menjelaskan bahwa segala sesuatu yang diada-adakan dalam masalah agama adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan. Hadits ini juga menjadi bantahan bagi pembagian bid’ah baik da buruk.
* Segala bentuk akad (perjanjian) yang dilarang, sama sekali tidak dibenarkan, demikian pula hasilnya. Segala yang dibangun di atas suatu yang batal, maka ia pun batal.

Dari dua ayat al-Qur’an dan tiga hadits Nabi tersebut di atas, serta penjelasan dari ulama-ulama terhadap dalil-dalil tersebut, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa :

1. Syarat diterimanya amal shalih adalah jika dilakukan dengan ikhlas dan benar. Ikhlas yaitu hanya karena Allah Ta’ala semata dan benar yaitu apabila sesuai dengan syari’at Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
2. Tidak akan diterima suatu amal yang hanya memenuhi salah satu dari kedua syarat tersebut. Kita memang tidak bisa mengatakan kepada seseorang : “Amalmu tidak akan diterima oleh Allah” karena hanya Allah-lah yang tahu apakah amal seseorang itu diterima atau tidak akan tetapi kita bisa mengatakan bahwa “Amal Anda tidak sesuai dengan contoh dan petunjuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan setiap amal yang tidak sesuai dengan contoh dan petunjuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam maka amal tersebut akan tertolak”.

Itulah dua kaidah utama mengenai syarat diterima nya amal ibadah kita, yang disarikan oleh para Ulama dari dalil-dalil al-Qur’an dan as-Sunnah.

Pertanyaan selanjutnya adalah: “Sudahkah amal kita selama ini memenuhi kedua syarat tersebut?”. Jika belum, lalu apa yang sudah kita lakukan agar kedua syarat tersebut bisa kita penuhi?. Silahkan jawab di hati Anda masing-masing.

Firman Allah Ta’ala :

“Artinya : Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya.” (Al-Israa’: 36).


B. PENYEBAB TIDAK DITERIMANYA AMAL-IBADAH KITA

Semua amal ibadah yang kita lakukan harus berlandaskan kepada iman, percaya bahwa Allah saja penjamin hidup kita di dunia dan akhirat. Segala apa yang kita nikmati di dunia ini tidak lain adalah anugerah dariNya dan juga kebahagiaan kita di hari akhirat semata hanya karena rahmatNya. Kalau ibadah yang kita lakukan sesuai dengan apa yang disebutkan tadi, Insha Allah, sudah tepat sasaran dan tujuannya. Tetapi tidak semua amal ibadah kita diterima olehNya karena ada syarat-syarat yang tidak kita penuhi dalam ibadah tersebut.

Oleh karena itu kita wajib mengetahui bagaimana cara beribadah dan syarat-syarat agar diterima olehNya sehingga tidak sia-sialah apa yang kita kerjakan,Insha Allah.

Syarat yang pertama adalah NIAT yang ikhlas yang ditujukan hanya kepada Allah SWT.

Amirul mukminin, Umar bin Khatab Radhiyallahu’anhu, berkata: “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Segala amal itu tergantung niatnya. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan RasulNya. Barang siapa yang hijrahnya itu karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya”. (HR. Buhkari dan Muslim)

Hadits di atas adalah salah satu pokok penting ajaran Islam, yaitu menyangkut masalah niat. Menurut Imam Ahmad dan Imam Syafi’i niat itu mencakup sepertiga ilmu karena perbuatan manusia terdiri dari niat, ucapan dan tindakan. Pada hadits ini disebutkan “segala amal hanya menurut niatnya” , yang dimaksud dengan amal disini adalah amal yang dibenarkan syari’at (ibadah) sehingga setiap ibadah tanpa niat maka tidak berarti apa-apa menurut agama Islam. Dan pada kalimat “setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya” menunjukkan sah tidaknya amal ibadah bergantung kepada niatnya.

Oleh karena itu, luruskanlah niat beribadah hanya kepadaNya. Jangan dirusak oleh hal-hal yang hanya mencari keuntungan hidup di dunia yang menyebabkannya beribadah hanya karena rasa riya dan pamer atau ditujukan untuk selain Allah. Melaksanakan shalat hanya agar dipandang sebagai orang yang shalih. Maka yang ia dapatkan hanyalah pandangan manusia yang lain yang menyatakannya orang shalih, bukan dimata Allah. Atau bersedekah agar dipandang orang sebagai seorang dermawan, maka kedermawanan itu hanya gelar yang ia dapat dari manusia lain, bukan dari Allah. Atau tujuan menuntut ilmu agar dihormati sebagai ilmuwan dan bisa mendapatkan materi yang melimpah dari ilmunya tersebut, maka ilmu yang ia peroleh hanya memberinya keuntungan hidup di dunia saja.

Firman Allah dalam Surat Hud(11):15-16 :”Barangsiapa yang menghendaki kehidupan di dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.

Itulah orang-orang yang tidak memperoleh akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.”

Imam Alghazali mengatakan bahwa orang yang beribadah kepada Allah SWT tapi dalam hatinya terkandung maksud untuk mendapatkan sesuatu dari sesama makhluk Allah, maka berarti ia mengejek Tuhannya karena amalannya tidak benar-benar ditujukan karenaNya.

Rasulullah SAW bersabda: “Allah Azza wa Jalla berfirman (dalam hadits Qudsi): “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang diarahkan sebagai menyekutukan ZatKu dengan selainKu, maka semua amalannya adalah untuk apa yang dijadikan sekutuKu tadi, sedang Aku lepas sama sekali daripadanya. Aku adalah sekaya-kayanya orang yang kaya dari perbuatan syirik itu (yakni Aku paling tidak membutuhkan sekutu itu)”.

Beliau SAW bersabda pula: “Sesungguhnya yang amat kutakuti dari segala hal yang kutakuti atasmu itu ialah syirik kecil” Para sahabat lalu bertanya: “Apakah syirik kecil itu ya Rasulullah?” Beliau SAW menjawab: “Yaitu riya (pamer). Allah Azza wa Jalla berfirman pada hari kiamat, yaitu diwaktu sekalian hamba melihat hasil-hasil amalannya: “Pergilah kamu semua kepada apa yang kamu jadikan bahan pameran (riya) di dunia. Lihatlah apakah kamu semua memperoleh balasan dari mereka itu?” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Baihaqi)

Syarat yang kedua adalah mengerjakan amal ibadah sesuai dengan ajaran dan petunjuk dari Rasulullah SAW.

Firman Allah SWT dalam Surat Al-Israa’(17):36 ;”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya.”

Ayat ini menerangkan bahwa apa saja yang kita lakukan (khususnya ibadah) harus mempunyai ilmu pengetahuan tentangnya. Jangan asal ikut-ikutan ataupun membuat-buat sendiri. Allah SWT mengutus Rasulullah SAW tidak lain adalah untuk di ikuti. Beliau SAW telah memberikan contoh kepada umat Islam tentang bagaimana cara beribadah, baik itu ibadah wajib, sunnat sampai hal yang sekecil-kecilnya yang kita lakukan dalam kehidupan ini.

Untuk ibadah wajib seperti shalat, zakat, puasa dan menunaikan ibadah haji wajib pula hukumnya memiliki ilmu untuk mengerjakan ibadah tersebut. Semua itu telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan kita harus mempelajarinya dengan membaca dan memahami baik dari hadits maupun bertanya kepada orang yang mempunyai pengetahuan tentang hal itu.

Dalam Surat An-Nahl(16):43 Allah berfirman:”Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”.

Begitu juga dengan ibadah-ibadah sunnat. Hendaknya kita kerjakan sesuai dengan apa yang telah Rasulullah SAW kerjakan, jangan ditambah-tambah dan dikurangi. Dalam hadits riwayat Muslim, dari ‘Aisyah r.a katanya Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang mengamalkan suatu amal (ibadah) yang tidak pernah kami lakukan, maka amalnya itu ditolak.”

Betapa ruginya jika kita melakukan sesuatu tanpa pengetahuan dan hanya menuruti saja langkah orang lain, baik nenek moyangnya karena kebiasaan, adat istiadat dan tradisi yang diterima, membuat kita percaya begitu saja tanpa mau mencari tahu apakah itu benar menurut Islam apa tidak.

Syarat yang ketiga diterimanya amal ibadah adalah SHALAT.

Bersabda Rasulullah SAW: “Permulaan amalan yang diperiksa dari amalan seseorang hamba pada hari kiamat ialah shalatnya. Diperhatikan benar-benar shalatnya. Maka jika betul urusan shalatnya, mendapat kemenanganlah ia. Jika tidak betul urusan shalatnya, rugi dan sia-sialah usahanya.” (H.R. Ath Thabarany dari Anas r.a.).

Ibarat rumah, shalat adalah tiangnya. Ibadah-ibadah yang lain disamakan dengan rangka-rangka rumah yang gunanya buat mencukupi keperluan alat-alat rumah sesudah ada tiangnya. Jika tiang tidak ada, maka dengan apa rangka-rangka tersebut ditopang? Begitu juga ibadah-ibadah yang lain, bergantung kepada diterimanya shalat. Apabila shalatnya ditolak, maka ditolak pula segala amal ibadah yang lain.

Oleh karena itu, kita harus menyempurnakan ibadah shalat kita yang menjadi salah satu syarat ibadah-ibadah yang lain diterima oleh Allah SWT.

Sebab-sebab ibadah tidak diterima adalah jika syarat-syarat di atas tidak terpenuhi. Entah itu salah satu dari ketiganya atau malah ketiga-tiganya. Oleh karena itu tugas kita sebagai hambaNya adalah memenuhi syarat-syarat tersebut dengan tujuan agar Allah menerima amal ibadah kita. Ini adalah suatu usaha dan usaha itu wajib hukumnya. Tetapi, bagaimanapun, diterima atau tidak amalan-amalan tersebut, kita serahkan hanya kepada Allah SWT yang mempunyai hak penuh untuk itu.

Setelah menjalankan semua syarat, tugas kita yang lain adalah merendahkan diri dihadapan Nya, menyadari bahwa semua ibadah yang kita lakukan tidak ada artinya apa-apa dibanding nikmat yang telah Dia limpahkan untuk kita.Takutlah hanya kepadaNya, karena dengan rasa takut itu akan mendorong kita untuk menjalankan ibadah dengan lebih baik dan sempurna. Senantiasalah meminta ampun atas semua khilaf dan dosa walau terkadang kita tidak menyadari telah melakukannya.

Semoga Allah menerima segala amal ibadah dan tobat kita. Amin!!!


................................................................

Ref:
- http://k4ligondang.wordpress.com
- http://sister.imsa.us


Daftar Rujukan:

1. Al Masaail, Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
2. Bahjatun Naadziriin Syarah Riyaadush Shaalihiin, Syaikh Salim bin ’Ied al Hilali.



Ditulis Oleh : Wahyu Winoto, S.Pd. Hari: 4:07:00 AM Kategori:

0 komentar: