Cara Penanganan Aksi Demo Anarkis (Cara Benar dan Cara Unik)

Demonstrasi yang seringkali terjadi dinegara kita akhir-akhir ini sering berakhir dengan tindakan anarkis. Bahkan menimbulkan korban, bukan cuma korban luka-luka namun juga bisa sampai korban jiwa. Sebut saja demo beberapa waktu yang lalu di Sumatera Utara yang akhirnya ricuh dan anarkis sampai menewaskan Ketua DPRD Sumut Abdul Azis Angkat, dan masih cukup banyak kasus lain yang seperti itu.




Kali ini ww.com mencoba memaparkan aturan-aturan dalam penanganan aksi demo, yang mana dalam penanganan aksi demo kita harus berpegang pada aturan, diantaranya:

- Pertama, apakah koordinator lapangan (korlap) demonstrasi sudah memberi tahu pihak
kepolisian 3 x 24 jam sebelum dilaksanakan, seperti diatur dalam Pasal 9 dan 10 UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang penyampaian pendapat di muka umum?

- Kedua, apakah intelijen Polri sudah melaksanakan kewajiban dengan baik?
Hal itu untuk mencegah munculnya aksi tak terduga dari pihak-pihak tertentu yang ingin memanfaatkan aksi demo untuk kepentingannya sendiri.

- Ketiga, apakah Kepolisian sudah melaksanakan prosedur tetap (protap)sesuai Peraturan Kepala Polri No 16/2006 tentang pedoman pengendalian massa yang mengatur cara bertindak, jumlah kekuatan, peralatan yang digunakan, dan strategi pelaksanaannya?


Pada jajaran Polri telah ada aturan terkait tata cara pengendalian massa, termasuk unjuk rasa yang berubah menjadi anarki. Mencuplik apa yang disampaikan seorang dosen Bidang Studi Kepolisian Universitas Indonesia, Bambang Widodo Umar dalam memaparkan hal ini terkait dengan ada urut-urutan tindakan yang harus dilakukan Polri sesuai eskalasi ancaman. Tataran kewenangannya adalah:

Pada tahap bawah, yang bertanggung jawab di lapangan adalah pimpinan kesatuan setingkat kepolisian resor (polres), kepolisian wilayah (polwil), atau kepolisian wilayah kota besar (polwiltabes). Pengendalian massa (dalmas) dilakukan kepolisian pada tingkatan bawah ini. Kepala polda berkewajiban untuk terus memantau kejadian di lapangan, sementara komandan di lapangan harus terus melaporkan perkembangan dari waktu ke waktu. Selain itu, kepala polda wajib mendukung kekuatan Polri di bawahnya jika dirasa perlu.

Jika eskalasi ancaman meningkat dan dalmas tidak mampu mengatasinya, alih lapis harus dilakukan, yaitu dengan menambah kekuatan menerjunkan Brigade Mobil (Brimob) yang ada di bawah kendali kepala polda. Jika kesatuan di bawahnya juga tidak mampu mengatasi keadaan, harus dilakukan alih lintas, yaitu komando diambil alih kepala polda.

Jika itu pun tidak cukup, kepala polda wajib melaporkan kepada Kepala Polri apakah perlu meminta bantuan kepada kesatuan TNI guna membantu Polri dengan status di bawah kendali operasi (BKO) Polri.

Jika itu pun gagal, Presiden harus memutuskan agar TNI mengambil tindakan represif terbatas guna menstabilkan keamanan dalam jangka tertentu, lalu menyerahkan kembali kendali operasi keamanan kepada Polri.

Dan...seperti kita ketahui...
Hingga kini, kita belum memiliki aturan perbantuan TNI, baik dalam bentuk UU Perbantuan TNI yang berdiri sendiri, UU Keamanan Negara, atau aturan hukum lain. Yang berlaku hanya koordinasi antara pimpinan Polri dan TNI di daerah dan/atau pimpinan Polri dan TNI di tingkat pusat dalam mengatasi ancaman keamanan di berbagai daerah. Kita juga belum memiliki tataran kewenangan tentang siapa yang bertanggung jawab atas keamanan daerah, kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota), atau pihak kepolisian. Aturan tentang tata cara permintaan bantuan dari Polri ke TNI juga belum baku, apakah dilakukan Polri kepada TNI (tingkat daerah atau nasional) atau dari kepala daerah kepada Presiden.

Oke...
Cukup dulu seriusnya...
Kali ini ww.com juga punya cerita unik nih tentang cara penanganan demo. Seperti dicuplik dari berita2.com tentang aksi demo yang terjadi di Istana negara bebrapa waktu yang lalu.

Hujan di sekitar Istana Presiden pada Rabu siang (20/10/2010), ternyata itu bukan sembarang hujan. Itu hujan yang dipanggil seorang pawang untuk menghalau pengunjuk rasa.

Seorang pawang hujan hadir di depan Istana Merdeka, sejak Rabu pagi. Pria yang mengenakan kemeja kotak-kotak dan berjanggung panjang ini tiba-tiba menyalami Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Sutarman di depan Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (20/10/2010).

Kepada sang Jenderal, pria yang diketahui bernama Wijay ini mengaku datang untuk menahan hujan agar tidak turun hari ini di depan Istana Merdeka. Namun Kapolda justru meminta hal sebaliknya.

“Iya sudah dibikin hujan saja biar demonya tidak jadi,” kata Sutarman sembari tertawa. “Oke siap Pak,” jawab sang pawang hujan.

Pria dengan kalung tasbih itu pun langsung duduk bersila di bawah pohon yang persis berseberangan dengan Istana Merdeka. Sebelum memulai ritualnya, Sutarman pun kembali mengingatkan sang pawang.

“Dibuat hujan ya pak,” tuturnya dengan nada tegas. “Siap pak,” kata pria bertubuh hitam dan berkepala plontos ini.


Gimana...
Bukankah cara penanganan demo dengan mendatangkan hujan itu lebih efektif? dan dijamin gak bakalan makan korban luka-luka apalagi sampai penembakan aparat terhadap demonstran. Demonstran walaupun berangkat dengan semangat membaja namun jika ternyata dilapangan terjadi hujan lebat tentu mereka akan berpikir ulang untuk beraksi total apalagi mau anarkis.hehehe....

Sekian...



Ditulis Oleh : Wahyu Winoto, S.Pd. Hari: 9:26:00 PM Kategori:

0 komentar: