Evolusi Budaya, Merebut Kembali Kedaulatan Bangsa Melalui Ketahanan Budaya

Evolusi Budaya, Merebut Kembali Kedaulatan Bangsa Melalui Ketahanan Budaya



Berbicara mengenai cultural evolution atau evolusi budaya, kita akan berhadapan dengan dua istilah yaitu evolusi dan budaya. Dua istilah yang menjadi pokok bahasan di banyak cabang ilmu, termasuk diantaranya: biologi, sosiologi, antropologi, dan psikologi hingga ekonomi. Evolusi sendiri merupakan terminologi yang berasal dari biologi, yang menggambarkan fenomena asal usul adanya variasi spesies dan bagaimana manusia kemudian menjadi makhluk yang paling dominan di dunia saat ini.

1. Evolusi Biologis

Evolusi merupakan suatu fenomena yang telah lama dikenal dalam bidang biologi. Fenomena yang berupaya dijawabnya tentunya adalah variasi dalam spesies dan juga dinamika variasi tersebut dari waktu ke waktu yang didapatinya melalui berbagai penemuan fosil. Ada 2 hal yang menentukan dinamilka yang terjadi dalam evolusi, yaitu variasi melalui mutasi yang bersifat random dan kekuatan seleksi. Dengan hanya menganggap bahwa evolusi berjalan secara acak, maka kita tidak mungkin mendapati adanya akumulasi dari sifat-sifat tertentu yang bisa beradaptasi dengan lingkungan. Namun dengan adanya proses seleksi, kita akan mendapati adanya kekuatan yang menghempang atau menghilangkan hasil mutasi yang tidak coccok dengan lingkungan dan memungkinkan perubahan yang memiliki tingkat kecocokan yang tinggi akan bertahan dan bahkan terakumulasi. Sifat-sifat dan karakteristik yang menguntungkan tersebut akan diturunkan pada generasi selanjutnya, yang juga akan mempunyai peluang untuk berubah membentuk variasi baru yang juga ikut terseleksi. Begitu seterusnya sehingga apa yang bisa kita lihat dari variasi yang ada sekarang merupakan hasil dari perubahan gradual dan akumulatif dari generasi yang simple hingga yang kompleks.

Teori evolusi sendiri pada dasarnya sudah lahir sejak lama, beberapa ilmuwan sebelumnya yang juga ikut berkontribusi pada teori ini diantaranya adalah Lamarck (1974) dan Geoffroy St. Hilaire (1830). Lamarck mengusulkan mekanisme “penurunan karakteristik yang diperoleh oleh suatu makhluk hidup, untuk menjelaskan adanya proses evolusi organisme dari sederhana menuju yang lebih kompleks. Spesies cenderung beradaptasi dengan lingkungannya dan berkembang melalui penggunaan atau tidak digunakannya organ tertentu dari spesies tersebut. Contoh sederhananya kijang, awalnya tidak bertanduk, namun menumbuhkan tanduknya untuk bertahan dari serangan pemangsanya. Sementara Hilaire menyatakan bahwa proses tersebut tidaklah kontinu, dimana variasi terjadi karena adanya karakteristik yang didapat dari induk sebelumnya. Ia sendiri tidak memperkuat teori ini dengan beberapa contoh mekanismenya.

Berbeda dengan Lamarck, Darwin melihat bahwa variasi bukanlah hasil dari proses adaptasi, melainkan karena adanya perbedaan kapasitas dari spesies untuk beradaptasi. Spesies yang mempunyai kapasitas untuk beradaptasi dengan lingkungannyalah yang akan bertahan dan kemudian mempunyai banyak keturunan. Variasi terjadi karena adanya suatu perubahan yang bersifat random dan juga seleksi alam.

Beberapa fakta dan temuan selanjutnya, menunjukkan bahwa Teori evolusi melalui seleksi alam lebih diterima dibandingkan teori Lamarck. Walaupun demikian, baik Darwin maupun Wallace sendiri masih menyisakan pertanyaan, terutama tentang bagaimana mekanisme penurunan sifat atau karakter dari satu generasi ke generasi selanjutnya.

Mekanisme penurunan sifat dan faktor apa yang menentukan sifat suatu organisme mulai menemukan jawabannya dengan penemuan Mendell. Percobaan yang dilakukannya cukup sederhana, ia hanya mengawin silangkan 2 jenis tanaman yang berbeda sifatnya terus menerus. Ilustrasi sederhananya: bayangkan kita mempunyai 2 tanaman anggrek – bunga nasional Indonesia, yang satu berwarna merah sedangkan satunya lagi berwarna putih. Ketika dikawinkan ia akan menghasilkan anggrek berwarna merah dan tidak ada yang berwarna putih. Hasil perkawinan kedua, adalah mengawinkan sesama anggrek hasil perkawinan pertama. Yang menarik dari hasil perkawinan ini, rata-rata dari empat hasil perkawinan didapati satu buah anggrek berwarna putih. Dari percobaan ini Mendell merumuskan beberapa konsep yang nantinya menjadi dasar dari konsep genetika modern, yaitu konsep gen dominan dan resesif. Dalam kasus bunga anggrek di atas, bisa dikatakan bahwa dalam setiap anggrek akan memiliki dua jenis gen, ketika salah satunya dominan maka sifat dari gen dominan itulah yang muncul. Untuk kasus anggrek tersebut, gen warna merah merupakan gen yang dominan dan gen putih adalah gen resesif. Katakanlah gen merah tersebut kita simbolkan dengan M, dan gen putih disimnolkan dengan m. Pada generasi pertama aggrek merah mempunyai gen MM dan anggrek putih adalah mm, bisa dikatakan bahwa generasi kedua akan mempunyai gen Mm, yang tentunya akan berwarna merah, karena sifat gen M (warna merah) mendominasi sifat m (warna putih). Mendell juga menjadi peletak konsep gen sebagai faktor yang menentukan sifat suatu organisme, dan yang perlu dicatat Mendell sendiri menjadi orang pertama yang mendemontrasikan perbedaan antara genotip sebagai faktor penentu sifat, dan fenotipnya atau sifat yang muncul dari suatu genotif tertentu.

Namun pertanyaan mengenai bagaimana mekanisme gen bisa dan bagaimana variasi tertentu bisa muncul dan membrojol dari hasil seleksi alam, belum terjawab hingga akhirnya ditemukan DNA sebagai unit informasi terkecil yang menyusun gen dan menjadi faktor penentu sifat dari organisme dan keturunannya.

Penemuan DNA memberikan titik terang mengenai bagaimana mekanisme evolusi dari suatu organisme. Penemuan DNA yang berkembang di biomolekular dan biokimia menjadi semacam pengembangan secara mikroskpis dari pengamatan makroskopis Darwin dan juga Mendell. Gen pada dasarnya merupakan untai DNA sebagai unit informasi terkecil yang bisa terekspresikan menjadi fenotipnya, yaitu enzim, protein RNA dan lain sebagainya. Gen tersusun atas alel, atau alternatif gen tertentu, yang akan menentukan adanya variasi dalam spesies. Mutasi dari gen terjadi karena adanya perubahan dari untai DNA yang pada akhirnya akan merubah sifat dari fenotipnya. Spesies yang mempunyai sifat atau karakteristik yang cocok dengan lingkungannya akan bertahan, memproduksi banyak keturunan dan menurunkan (mentransmisikan) sifatnya tersebut ke generasi selanjutnya melalui proses pengkopian gen (replikasi).

2. Evolusi Budaya(?)

Berbicara tentang evolusi manusia, kita tidak cukup berbicara mengenai evolusi biologis saja. Manusia bukan hanya makhluk biologis, tetapi juga sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia mengalami evolusi lain, yaitu evolusi kultur atau budaya. Manusia mempunyai tata cara hidup, kebiasaan dan norma dan aspek-aspek kultural lainnya yang senantiasa berubah dan menjadi kompleks dari waktu ke waktu. Suatu bentuk evolusi lain yang menjadikannya sebagai makhluk hidup yang paling dominan dan adaptif terhadap lingkungannya saat ini.

Evolusi budaya merupakan suatu proses evolusi yang terjadi hingga saat ini. Kita bisa mengamati bagaimana fakta akan evolusi tersebut dalam banyak hal, seperti dalam bahasa, gaya hidup hingga ke dinamika dalam sistem ekonomi. Pertanyaannya apakah prinsip-prinsip dalam evolusi hayati juga berlaku dalam evolusi kultur atau sosial? Untuk menjawab itu, seorang biolog Robert Boyd (2005), mengajukan beberapa proposisi terkait dengan evolusi budaya diantaranya:

1. Budaya merupakan informasi yang didapatkan oleh suatu individu dari orang lain melalui pengajaran, imitasi atau bentuk pembelajaran sosial lainnya.
2. Perubahan budaya haruslah dimodelkan sebagai suatu proses Evolusi Darwinian.
3. Budaya merupakan sebahagian dari evolusi biologis.
4. Evolusi budaya membuat evolusi manusia menjadi berbeda dengan evolusi makhluk hidup lainnya.
5. Gen dan budaya berkoevolusi.

Namun, harus disadari bahwa sistem sosial sendiri merupakan sistem yang tersusun atas ibanyak individu yang secara aktif berinteraksi dan saling mempengaruhi satu sama lain, saling bertukar informasi dan kemudian mentransmisikannya satu sama lain baik intra maupun inter-generasi. Ia merupakan sistem yang terbuka, yang beradaptasi dengan kondisi lingkungannya dan kemudian berubah secara dinamik dan beradaptasi dengan perubahan lingkungan tersebut. Dalam persepektif hubungan mikro-makro, budaya merupakan suatu keadaan makro yang membrojol dari interaksi individu-individu di tingkatan mikro. Komunikasi antar individu dan pertukaran informasi dan ide diantara mereka, muncul sebagai sebuah kepercayaaan, norma, kebiasaan dan budaya secara umum. Jelasnya, budaya merupakan fenomena makro yang membrojol akibat hubungan interaksi, komunikasi dan saling pengaruh mempengaruhi diantara individunya (gambar 1). Propoposi yang diajukan Boyd, pada dasarnya lebih di dasarkan pada fakta-fakta yang didapatinya dari kajian antropologi dan linguistik. Sebagai seorang biolog, ia mendapati bagaimana spesies yang secara genetik berkorelasi akan mempunyai budaya dan bahasa yang mirip satu sama lain. Namun dalam memodelkan bagaimana proses ini terjadi secara Darwinian, belum ada yang cukup baku yang diterima oleh para ilmuwan. Jawaban yang cukup menjanjikan datang dari konsep memetika, yang secara umum memandang bahwa sistem sosial dan budaya, tersusun atas unit hereditas yang dinamakan meme.

3. Evolusi memetik sebagai alat analisis dalam memodelkan evolusi masyarakat dan budaya

Memodelkan evolusi kultural dari sudut pandang memetika, kita tentu harus menyadari bahwa pada dasarnya kultur merupakan suatu sistem bertingkat yang didalamnya mengandung berbagai elemen-elemen kultur tertentu yang senantiasa berubah secara dinamik, dimana perubahan ini terjadi karena adanya dinamika dalam masyarakat itu sendiri – baik melalui proses asimilasi, akulturasi, komunikasi maupun interaksi antar individu. Fenomena evolusi kultural bisa kita lihat sebagai pola dinamik, dimana elemen kultur terbut bukan hanya menyebar dan bertransmisi dari satu individu ke individu lainnya, melainkan juga bagaimana elemen-elemen tadi secara dinamik berubah selama proses transmisi tersebut. Meme bisa dipandang sebagai sebuah unit yang paling kecil dari kultur, seperti not musik atau cara menggunakan sepatu, hingga bagian yang lebih besar seperti nasionalisme atau agama, sehingga memetika pada hakikatnya merupakan suatu alat analisis yang dapat menjelaskan fenomena dalam sistem kultur atau aspek-aspek kultural, diseminasi dan propagasinya, hingga evolusinya. Memetika juga bisa kita lihat sebagai sebuah cara bagaimana suatu objek kultur atau sistem bertransmisi dari satu orang ke yang lainnya dalam prespektif virus akal budi (Brodie, 1996).

Dawkin menyebutkan bahwa meme merupakan suatu unit informasi yang tersimpan di otak dan menjadi unit replikator dalam evolusi kultur manusia. Meme tersebut bisa berupa ide, gaya berpakaian, tata cara ibadah, norma dan aspek kultur lainnya. Meme dalam sistem kultural manusia berperilaku dan mempunyai karakteristik selayaknya gen dalam sistem biologis, yang bisa bereplikasi sendiri dan bermutasi. Konsep meme yang dilontarkannya ini kemudian mengundang banyak perdebatan dikalangan biolog dan sosiolog, terlebih karena ia sendiri tidak memberikan penjelasan yang cukup gamblang mengenai bagaimana unit informasi dalam otak tersebut mengontrol perilaku manusia, dan pada akhirnya kultur manusia, serta bagaimana mekanisme replikasi serta transmisi dari meme itu sendiri. Hal ini juga yang menjadikan definisi meme pada perkembangannya menjadi begitu banyak dan seakan tidak menemukan titik temu satu sama lainnya.

Perdebatan ini menjadi terkadang cukup kontraproduktif tatkala melupakan esensi dari memetik sendiri sebagai sebuah alat analisis yang berupaya menganalisis dinamika perubahan budaya dalam persepektif evolusi. Memetika harus dipandang sebagai alat analisis alternatif baru yang bisa digunakan untuk menjelaskan fenomena evolusi kultural, sehingga kita tidak bisa mengasumsikan meme sebagai unit informasi terkecil dari evolusi kultural atau sosial secara umum, layaknya gen dalam evolusi biologi, melainkan sebagai unit informasi terkecil yang dapat kita gunakan untuk menjelaskan fenemona sosial tertentu di masyarakat(Situngkir, 2004).

4. Inovasi sebagai proses evolusi: model dinamika ekonomi kreatif

Sistem ekonomi merupakan sistem dinamik yang berkembang terus menerus. Suatu perusahaan bisa muncul, berkembang dan kemudian hilang atau bertahan. Dinamika tersebut memunculkan suatu distribusi tertentu dari besarnya perusahaan atau firma sebagai fenomena makronya. Axtell (2001) dalam penelitiannya di perusahaan-perusahaan Amerika mendapati bahwa besarnya firma sebagai distribusi hukum pangkat. Dinamika muncul dan hilangnya perusahaan sebagai sebuah konsekuensi akan proses seleksi pasar telah memunculkan suatu pola makro tertentu dalam ekonomi berupa distribusi perusahaan dan siklus hidupnya.

Schumpeter (1883-1950) merupakan ekonom yang pertama kali mengamati fenomena tersebut. Ia mengemukan teori siklus bisnis dan perkembangan. Dalam teorinya dia melihat bahwa sistem ekonomi tidaklah statik, suatu inovasi akan berkembang ke arah keadaan stasioner atau kesetimbangan, namun kesetimbangan ini akan senantiasa diganggu oleh munculnya entrepreneur dan aktivitas inovasi yang dilakukannya. Sebuah proses kreasi tertentu akan dihancurkan oleh sebuah proses kreasi inovatif lainnya. Hal inilah yang memunculkan dinamika siklus bisnis dalam ekonomi. Ekonomi merupakan sistem yang tidak hanya dinamik namun evolutif.

Inovasi merupakan suatu proses kreasi yang memunculkan variasi baru dalam sistem ekonomi. Bukan hanya itu, inovasi juga merupkan proses akumulatif, dimana karakter atau sifat inovatif yang bertahan akan terakumulasi dan memungkinkan memunculkan kreasi lain yang lebih cocok dengan sistem ekonomi, dalam hal ini pasar. Fernomena ini memberikan suatu gambaran bagaimana ekonomi sendiri tidak hanya berbicara tentang dinamika secara kuantitas (kreasi yang banyak diadopsi), melainkan juga kualitas. (kreasi yang lebih baik). Dari sini proses inovasi dan perkembangan bisnis pada dasarnya bisa kita lihat dari kaca mata evolusi.

Inovasi merupakan salah satu proses yang memungkinkan munculnya artefak baru. Sebagai sebuah sistem (kompleks), inovasi dalam artefak teknologi bisa diartikan sebagai perubahan keadaan dari elemen-elemen penyusun sistem tersebut, sehingga memunculkan sebuah sistem yang mempunyai karakteristik atau perilaku yang berbeda dengan sebelumnya (Frenken, 2001. Proses inovasi bisa dipandang sebagai proses yang relatif random (Mokyr, 1997; Frenken, 2001 Kauffman, 1995), dalam artian suatu teknologi yang dihasilkan tidaklah diketahui secara tepat apakah ia akan cocok dengan lingkungannya ataukah tidak. Proses evolusi dari artefak teknologi dapat kita amati sebagai fenomena munculnya jenis baru dari artefak teknologi akibat adanya inovasi, yang kemudian menggantikan artefak yang lama.

Secara historis, inovasi mungkin telah ada dari mulai munculnya Homo sapiens. Hal ini bisa teramati dari penemuan berbagai artefak yang dihasilkan manusia. Inovasilah yang kemudian membuat manusia menjadi begitu adaptif dan terus-menerus menemukan cara hidup yang lebih baik di muka bumi ini. Dengan kata lain, inovasilah yang membantu manusia menjadi khalifah di muka bumi, suatu situasi yang digambarkan filsuf kenamaan Friedrich Nietzsche sebagai proses untuk menjadi Superman. Saat ini inovasi tidak lagi dipandang sebagai suatu upaya manusia untuk menemukan artefak yang membantu kehidupannya. Produk atau proses inovatif merupakan suatu komoditas yang bernilai ekonomis dan menjadi faktor utama dalam bisnis. Lebih jauh inovasi telah dipandang sebagai aspek yang cukup vital bagi perkembangan ekonomi suatu perusahaan atau negara. Di sisi lain, artefak merupakan objek budaya, dalam hal ini model memetika, sebagai alat analisis yang mencoba menerangkan dinamika perubahan budaya dan objek budaya, merupakan model yang bisa digunakan untuk menganalisis proses inovasi. . Artefak budaya merupakan suatu sistem yang tersusun unit-unit informasi kultural sebagai unit heriditas yang diturunkan dari generasi-ke generasi dalam proses evolusinya. sifat dan karakteristik artefak secara keseluruhan ditentukan oleh unit-unit informasi tersebut yang terekspresi dengan cara tertentu (Stankiewicz, 2000). Dengan kata lain, artefak merupakan suatu fenotipik meme atau femotip yang membrojol dari genotipnya yaitu meme.

Memandang inovasi dengan cara pandang evolusi memungkinkan kita untuk menggambarkan urutan atau estimasi historis suatu inovasi produk. Hal ini dilakukan dengan menyusun suatu pohon evolusi dengan kedekatan susunan biner memepleks produk-produk tersebut. Dalam suatu penelitian yang dilakukan Khanafiah&Situngkir (2004), untuk kasus inovasi handphone, di dapati suatu pohon inovasi yang disebut sebagai pohon filomemetika.Pohon tersebut memberikan bagaimana variasi dari inovasi artefak dan bagaimana proses atau urutan kejadian dari inovasi suatu produk teknologi. Pohon tersebut juga memberikan gambaran mengenai produk mana yang berinovasi dan diinovasi dari mana.

Model ini kemudian dikembangkan lebih lanjut guna mengamati dinamika evolusioner dari artefak budaya. Dengan menggunakan suatu pemahaman bahwa keberhasilan suatu produk teknologi di pasaran, bisa kita pandang sebagai cocok atau tidaknya produk dengan penggunanya. Tentu hal ini bisa kita lihat sebagai sebuah proses seleksi dari produk hasil inovasi oleh lingkungannya, dalam hal ini pengguna atau pasar. Proses seleksi oleh pengguna inilah muncul dan hilangnya suatu produk inovasi di pasaran. Setiap pengguna akan mempunyai keinginan atau preferensi tertentu terhadap suatu produk, yang tentunya didasarkan pada banyak hal, seperti level ekonomi, level teknologi yang diinginkan, serta pengaruh dari individu lain dalam jaring sosialnya. Hasil simulasi yang cukup menarik bisa kita amati pada gambar 3(b), yang menggambarkan bagaimana dinamika tingkat kecocokkan suatu produk hasil inovasi. Secara tidak langsung, tingkat kecocokan ini akan memberikan gambaran tentang bagaimana dominasi suatau produk dan bagaimana karakteristik produk yang dominan tersebut. Kita mendapati bahwa superioritas suatu produk – ditandai dengan kelengkapan dalam fitur dan teknologi, ternyata tidak serta merta membuat produk tersebut menjadi dominan di pasar. Dominasi suatu produk tidaklah berlangsung lama dengan hadirnya inovasi (ketidaktentuan inovasi), namun senantiasa mengikuti suatu siklus hidup tertentu. Suatu fenomena yang dikenal sebagai siklus hidup produk (product lifecycle), suatu fenomena yang disebutkan oleh Schumpeter dalam teori Siklus Bisnisnya.

Berbicara evolusi budaya kita tidak hanya berbicara tentang dinamika dan penyebaran budaya dan elemen-elemen budaya dari suatu masyarakat dari waktu ke waktu melainkan juga bagaimana perubahan secara kualitas dari budaya tersebut selama proses perkembangannya tersebut. Teori memetika tidak sekadar menginkorporasi teori Evolusi Darwin ke dalam analisis perubahan budaya, melainkan suatu alat analisis yang berupaya menganalisis proses tersebut dari sudut pandang Darwinian, yaitu evolusi melalui mutasi random dan seleksi alam.

Evolusi tidak hanya sebuah teori, melainkan sebuah fenomena yang ada. Evolusi budaya merupakan evolusi yang terjadi dan bisa kita amati hingga saat ini. Dinamika yang terjadi dalam evolusi sosial dan budaya ini merupakan fenomena yang membrojol dari interaksi yang kompleks di level mikronya, yaitu individu. Memetika yang merupakan alat analisis yang mencoba mengkaji dinamika budaya dari sudut pandang evolusi Darwinian, menjanjikan hasil analisis baru yang bisa memperkaya analisis sosial kita, termasuk analisis evolusi dalam sistem ekonomi.

5. Merebut Kembali Kedaulatan Bangsa Melalui Ketahanan Budaya

Diversitas budaya bangsa Indonesia menjadi sebuah anugerah yang membuat kita terlena. Terlalu nyaman buat kita memiliki keragaman budaya ini. Hingga setelah lagu kita, baju kita, sampai masakan kita diambil orang baru kita menyadari bahwa ternyata kita kaya. Dalam contoh kecil, relatif mudah bagi kita saat ini untuk mendapatkan informasi seputar upaya akuisisi seni pertunjukan Reog Ponorogo, lagu Rasa Sayange, alat musik Angklung, masakan Rendang dan berbagai derivat Batik yang didukung secara sadar oleh Pemerintah Kerajaan Malaysia misalnya, atau pematenan penganan Tempe oleh Institusi riset di Jepang, dan Kopi Gayo oleh oknum warga Negara Belanda, dan seterusnya. Bahkan di dalam negeri, tak pelak lagi diversitas budaya telah membuat kondisi sosial kemasyarakatan kita rentan untuk bercerai berai. Hal ini harus segera kita sadari, dan harus kita yakini bahwa kalau tidak segera ditemukan formula yang tepat untuk mengatasinya maka kita akan sulit berharap tentang Kedaulatan Bangsa ini beberapa tahun mendatang.

Jika kita tilik lebih dalam, selama ini pengaturan kepemilikan ekspresi budaya tradisional di dunia belum pernah diatur secara jelas. Kepemilikan terhadap suatu properti tertentu lebih mudah bila dikaitkan dengan konsep kekayaan intelektual. Bukan berarti keduanya memiliki kesamaan konseptual tentang dasar kepemilikan atas properti tetapi hanya karena pengaturan kekayaan intelektual sudah lebih dulu ada dan mudah dalam proses penerapannya karena hanya menyangkut satu individu saja. Padahal sudah jelas keduanya sangat berbeda. Sedangkan ide tentang kepemilikan kekayaan intelektual sendiri bersumber dari gagasan John Locke pada bukunya bukunya The second Treatise of Governance (1690) yang lahir sebagai akibat dari pemaksaan kepemilikan yang dilakukan raja atas aset rakyatnya. Karena sifatnya yang berorientasi pada individu, ide kepemilikan pribadi dirasakan kurang pas jika dijadikan pijakan untuk melindungi kekayaan budaya disamping secara natural budaya bersifat komunal, dinamis, dan diturunkan dari generasi ke generasi. Dengan kata lain, kepemilikan budaya lebih tepat jika berdasar pada konsep kepemilikan kolektif bukan kepemilikan individu. Sehingga secara tegas kita bisa katakan bahwa pengaturan kepemilikan atas ekpresi budaya yang didasarkan pada kepemilikan individu adalah tidak tepat dan menjadi salah kaprah apabila terus dilakukan. Pengaturan kepemilikan ekspresi budaya tradisional di Indonesia, sebagaimana terefleksikan dalam pasal 10, Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 pada kenyataannya tidak memuat batasan-batasan yang dapat dikategorikan sebagai ekspresi budaya tradisional yang perlu dilindungi, bentuk perlindungan yang dilakukan, serta kewenangan regulator dalam mengatur penggunaan ekspresi budaya tradisional. Kesalahan ini seharusnya tidak dapat kita biarkan begitu saja, karena secara konseptual-pun Undang-Undang ini tidak sesuai. Sebuah tindakan nyata tentunya harus segera dilaksanakan.

Pada skala internasional isu tentang prosedur perlindungan ekspresi budaya tradisional sudah mulai ditangani serius oleh sebuah lembaga di bawah naungan PBB yang bertugas mengatur Kekayaan Intelektual dengan nama WIPO (World Intellectual Property Organization). Draft Ketentuan Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional WIPO ini mestinya memberi tantangan tersendiri bagi kita sebagai bangsa yang sangat bhinneka dalam hal etnisitas dan kekayaan ekspresi budayanya dalam hal ketahanan budaya nasional. Sebagai gambaran, pada Pasal 2 draft tersebut disebutkan bahwa pemilik ekspresi budaya tradisional diserahkan pada Kustodian yaitu komunitas pemelihara dan pengembang ekspresi budaya tradisional. Hal ini kontras dengan lokalitas kita di Indonesia mengingat sebuah ekspresi budaya secara historis melekat pada daerah tertentu justru seringkali turut dikembangkan secara turun-temurun di daerah lain yang juga memiliki ekspresi budayanya sendiri. Dengan demikian, kita bisa menduga jika Indonesia meratifikasi draft ini maka akan timbul potensi permasalahan hak kepemilikan budaya akibat ketidakcukupan konsep dalam draft WIPO untuk merangkum kebutuhan perlindungan dan pengembangan budaya tradisional bagi negara-negara dengan diversitas kultural tinggi.

Draft WIPO juga menimbulkan permasalahan lain yang lebih serius yaitu hilangnya peran negara dalam realitas budaya nasional dengan mengkotak-kotakan penggiat budaya. Hal ini dapat mengurangi terjadinya interaksi antar komunitas budaya dan menimbulkan ketidakpedulian terhadap ekspresi budaya tradisional komunitas budaya lain. Sikap ketidakpedulian ini cenderung akan mendorong sifat chauvinistik kedaerahan dibanding sikap kebanggaan bersama sebagai satu bangsa. Hilangnya rasa kebanggaan budaya nasional yang terkotak menjadi kebanggaan budaya lokal dapat memicu pola disintegratif yang secara laten dapat merongrong rasa persatuan dan kesatuan yang justru akhir-akhir ini terasa sangat perlu kita bangkitkan sebagai bangsa.

Negara sebagai pemegang kedaulatan tertinggi harus secara tegas menyatakan posisinya dalam hal ketahanan budaya ini. Negara tak hanya berperan sebagai tentara penjaga garda atas kekayaan budaya kita tetapi juga sebagai pendorong majunya kretifitas perkembangan keragaman budaya ini. Di sisi lain Negara,Indonesia khususnya, harus berani menyatakan diri sebagai pemimpin yang berada di posisi paling depan dalam gerakan penyelamatan warisan dunia (World Heritage Conservation)karena Indonesialah yang paling mungkin memliki pengalaman dalam gerakan ini yang diperkuat dengan diversitas budaya yang dimiliki.

Ancaman nyata yang kita hadapi adalah jika ekspresi budaya tradisional yang kita miliki hilang atau diklaim oleh pihak lain maka identitas sebuah bangsa Indonesia akan ikut menghilang. Hal ini sangat membahayakan bagi kesatuan dan kedaulatan bangsa. Maka sebagai langkah awal, perlindungan ekspresi budaya tradisional seharusnya dapat segera dilakukan. Solusi yang tepat adalah dengan menyerahkan hak kepemilikan ekspresi budaya tradisional kepada negara dengan harapan hal ini mampu menumbuhkan rasa kepemilikan bersama sehingga kita dapat terhindar dari proses disintegrasi bangsa. Negaralah nantinya yang akan melakukan tindakan perlindungan terhadap ekspresi budaya yang bersifat mengatur, menjaga dan mengembangkan ekspresi budaya tradisional sebagai bagian dari ketahanan nasional. Secara khusus kita akan menyebutnya sebagai bentuk Ketahanan Budaya, yang secara aktual, konsep ini bersumber dari cara pandang kita akan budaya nasional kita dengan segala ke-bhineka-annya. Wawasan Nusantara yang berperspektifkan budaya daerah yang memperkaya budaya nasional yang sekaligus peka terhadap globalisasi merupakan bahan baku yang sangat kita perlukan dalam konteks ini. Penelitian akan kompleksitas Indonesia, sebagaimana ditunjukkan dalam buku Solusi untuk Indonesia (2008) yang diterbitkan pusat studi kompleksitas Indonesia, Bandung Fe Institute, juga telah menginsyaratkan hal ini. Perspektif mutakhir atas budaya nasional yang memperkaya khazanah Wawasan Nusantara, memiliki suatu urgensi yang kuat bagi bangsa kita untuk memper-erat persatuan kita yang terkatung-katung di era liberal dan mengglobal saat ini.

Langkah nyata yang harus segera dilakukan dan mungkin dilakukan adalah membentuk aturan perundang-undangan dalam negeri yang menyediakan kebutuhan pengelolaan keragaman budaya nasional. Perlindungan secara hukum perundang-undangan terhadap keragaman budaya nasional, selanjutnya dapat dijadikan pijakan dasar untuk menjaga kedaulatan bangsa sehingga bisa diakui di dunia internasional. Lebih jauh, harus ada sebuah kesadaran dan pengakuan oleh dunia internasional bahwa perundang-undangan akan kepemilikan Negara terhadap ekspresi budaya, sangat diperlukan oleh Indonesia guna menjaga ketahanan nasional dan kedaulatan negaranya. Hal ini tentunya bisa dijadikan momentum bersama bangsa Indonesia dalam memaknai Kebangkitan Nasional yang baru, yang diwujudkan dalam tindakan nyata dalam menegakkan kedaulatan bangsa melalui Konsep Pertahanan Budaya. Sudah saatnya kini bangsa Indonesia membuat suatu perlindungan hukum semisal Paten Negara atau yang lebih jauh Pengakuan Internasional bagi Ekspresi Budaya Bangsa Indonesia.

6. Daftar pustaka

1. Axtell, R (2001)Zipf Distribution of U.S. Firm Sizes.Science, 293 :1818-1820
2. Blackmore, S. (1998). Imitation and Definition of a Meme. Journal of Memetics - Evolutionary Models of Information Transmission, 2.URL
3. Boyd, R and Richerson, P (2005).The Origin and Evolution of Cultures. Oxford University Press.
4. Dawkins R. (1976, 1982). The selfish gene. Oxford University Press.
5. Frenken, Koen. (2001a). Modelling the organisation of innovative activity using the NK-model. Makalah prepared for the Nelson-and-Winter Conference, Aalborg, 12-16 June 2001.URL
6. Kauffman, Stuart A. (1995). At Home in The Universe: The Search for Laws of Self-Organization and Complexity. Oxford University Press. New York.
7. Khanafiah, Deni and Situngkir, Hokky. (2004). Innovation as Evolution: Phylomemetic of Cellphone Designs. Working Paper Series WPV2004. Bandung Fe Institute.
8. Khanafiah, Deni and Situngkir, Hokky. (2005). Innovation as Evolutionary Process. Working Paper Series WPB2005. Bandung Fe Institute.
9. Mokyr, Joel. (1997). Innovation and Selection in Evolutionary Models of Technology: Some Definitional Issues. Makalah prepared for the Conference on Evolutionary Models in Economics, Jan. 9-12, 1997, Oxford, England.
10. Schmidt,Heiko A.(2003). Phylogenetic Trees from Large Datasets. Inaugural-Dissertation. Dusseldorf University. Dusseldorf.URL
11. Situngkir, Hokky. (2004). On Selfish Memes-culture as complex adaptive system. Working Makalah Series WPG2004. Bandung Fe Institute.
12. Stankiewicz,Rikard.(2000). The Concept of “Design space".Makalah of Research Policy Institute. University of Lund. Sweden


(Ref: Jurnal dalam budaya-indonesia.org)



Ditulis Oleh : Wahyu Winoto, S.Pd. Hari: 6:42:00 AM Kategori:

0 komentar: