Cerita Pendek; Talk About Ocean (Part 2 - Finish)

...............Lanjutan Part 1............

Rentetan bahasa bijak khas seorang Raja membawa ke titik dimana dalam tidur pun ia masih bisa mendengar dan menelaah. Meski sejatinya, saat itu dia tidak bisa memberikan respon yang seharusnya. Bahkan, semisal ada seekor nyamuk yang menempel di hidungnya pun, pastilah dia hanya bisa berharap seseorang ada yang mau menepuknya ploook….bersamaan dengan mengalirnya darah kematian si nyamuk bercampur dengan darah yang mengalir dari kapiler hidungnya yang pecah….alias mimisan.

Ketika pemuda itu tersadar, bersamaan pula Sang Raja telah sampai ke lembarannya yang terakhir dimana epilog yang disampaikan beliau berisi pesan dan motivasi bagi para audience untuk kembali mengingat positioning manusia sebagai khalifah fil ard’ yang memiliki tugas dan kewajiban untuk menjaga keberlangsungan alam dan isinya dengan manajemen dan pemanfaatan yang berkesinambungan serta berorientasikan masa depan. Hal yang selalu ditekankan bahwa sesungguhnya sumberdaya alam yang dapat diperbaharuipun bisa saja akhirnya musnah ketika angka eksploitasinya lebih besar daripada kemampuannya untuk pulih dan berkembang. Dan kalau dibaca dari beberapa riset yang telah banyak dilakukan hal itu sesungguhnya telah lama berlangsung dan sebagai contoh; bahkan di beberapa titik di Indonesia pun telah mengalami overfishing yang menyebabkan nelayan mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pasar yang semakin lama mengalami peningkatan baik dalam hal kualitas maupun kuantitas. Sebut saja Bali, Pantura Jawa yang mana nelayannya harus melaut lebih jauh dari biasanya untuk mencari produk ikan dan itupun dalam jumlah yang relatif kecil.

Beberapa faktor yang juga mendorong penurunan jumlah tangkapan diantaranya polusi dan sedimentasi di muara dan kawasan pesisir menyebabkan peningkatan tingkat kekeruhan air laut yang berimbas pada penurunan jumlah plankton yang menjadi sarapan dan makan malam para ikan. Belum lagi nelayan kita yang terkenal memiliki teknologi sederhana, kalo tidak boleh dibilang “jadul”, dibandingkan nelayan dari negaranya Thaksin Sinawatra yang bisa “blusukan” (menjelajah) sampe ke wilayah territorial Republik ini dan mengeruk ton demi ton komoditi ikan tanpa membawa SIM (Surat Izin Memancing) dan STNK (Surat Tanda Nomor Kapal). That’s why the fish gone…Si pemuda itu berpikir, kalo seandainya kita mau sedikit repot dan tidak cuman mengeluh pada keadaan, potensi perikanan sebesar US $ 31,9 miliar/tahun, sungguh angka yang gila. Belum potensi bioteknologi, wisata dan juga tambang…barangkali bisa membuat Mbah Maridjan pun mau pindah dari Merapi ke Parang Tritis…hehe. Agak sedikit tersenyum ketika sebelumnya Bung Fadel Muhammad mengungkapkan visi negara ini, yakni “Indonesia Penghasil Produk Kelautan dan Perikanan Terbesar Tahun 2015”...Hueeebat sekaligus gila. Tak apa tentunya, target tinggi musti ditetapkan; dan diikuti dengan ikhtiar habis-habisan dari semua lini mulai dari regulator hingga pada level eksekutor dan pelaksana. Menteri tak cuman tandatangan, Birokrat tak cuman duduk di ruangan, akademisi tak cuman ngurus penelitian, dan nelayan tak cuman mengeluh minta uluran tangan.

All those guys need to do the best they can do. Insya Allah dengan ikhtiar optimal dan kerjasama multi-stakeholder plus tentunya doa, tentu pastilah target itu bisa terwujud dan seperti layaknya Piala Thomas dan Uber, kita pasti bisa mengalahkan Cina, yang saat ini masih duduk di singgasana.

Closing statement beliau sungguh membuat mereka semua menemukan kembali makna dari apa yang sesungguhnya mereka kerjakan. Dan applause mengiringi Sang Raja menuruni mimbar dan kembali ke tempat duduknya. Sesuai dengan jadwal, sesi selanjutnya adalah diskusi kluster yang akan terbagi dalam dua kelompok disesuaikan dengan minat dan keahlian. Kedua tokoh tersebut memberikan framework yang lebih jelas terhadap apa yang mesti kita lakukan secara mikro lebih sempit sesuai dengan kemampuan dan kapasitas kita sebagai individu yang kebetulan diberi sedikit ilmu untuk mengolah ini-itu menjadi sesuatu yang memiliki value, hingga dapat memberi revenue.

Pemuda tersebut memasuki kluster hukum, sos-ekonomi, dan budaya. Beberapa punggawa yang benar-benar concern dan memiliki kepedulian tinggi serta track record yang panjang dalam hal perencanaan dan pengelolaan sumberdaya kelautan juga masuk di dalamnya. Dan kurasa orang-orang ini sangat cocok dengan pemuda itu, yang meski belumlah terlalu sekaliber mereka, tapi pernah juga nyemplung di dalamnya. Meskipun, sebenarnya ia tak terlalu jago berenang. Dia tak ingin terlalu menjelaskan detail apa yang terjadi di dalamnya. Yang jelas tak ada perkelahian ataupun pertengkaran, debat, ataupun saling hujat. Hanya semacam reuni, soal pengalaman dan konsep coba-coba yang mereka bawa. Satu hal yang membuat pemuda itu, dan beberapa lainnya terpukau ketika ranah agama dalam hal ini Islam masuk ke dalam ranah praktis pengelolaan sumberdaya kelautan.

Beberapa dalil yang Subhanallah membuktikan keotentikan Al Quran terhadap apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, not just for moslem dalam melihat laut sebagai sebuah anugerah dan potensi yang luar biasa. Sebagai permulaan, terdapat 45 ayat yang menjelaskan tentang daratan dan lautan. 32 ayat menjelaskan tentang laut dan 13 ayat menjelaskan tentang darat. Angka 32 itu sama dengan 71,11% dari 45. Sedang 13 itu identik dengan 28,22 % dari 45. Berdasar ilmu hitungan sains, ternyata memang 71,11 % bumi ini berupa lautan dan 28,88 % berupa daratan. Selain itu pula quran menyebutkan laut dengan kata “bahr” oleh karena luas dan terhamparnya lautan tersebut. Beberapa ayat yang lain banyak menjelaskan beberapa hal tentang lautan yang cukup jelas menunjukkan bahwa laut memang dikaruniakan oleh Allah untuk dimanfaatkan dan disyukuri. Meskipun rasul sendiri bukanlah seorang pelaut, namun dari beberapa ayat mengenai laut yang tersebar dalam Al quran mengisyaratkan kebesaran Allah dan bagaimana manusia seharusnya mensikapi salah satu bukti kebesaran-Nya tersebut.

Dengan bekal ilmu dan, dan kemampuan serta dasar iman sebagai landasan untuk mengelola pesisir dan laut sebesar-besarnya untuk kemaslahatan manusia namun dengan tetap menjaga kesinambungan sumberdaya.

Perlulah melihat semua hal dari berbagai sudut dan memahami dari semua sisi serta melepaskan egoisme akademis dan kepentingan untuk dapat menemukan kebenaran, sebagaimana para pemikir. Dan berusaha menempatkan diri pada posisi yang tepat sehingga mampu berdaya guna, memfungsikan segala kemampuan dan potensi, dengan penuh ikhlas dan berorientasi tidak hanya sekedar dunia selayaknya para ulama. Apa yang pemuda baru saja sampaikan merupakan harapannya pada seorang yang menyebut diri mereka ilmuwan, atau orang yang memiliki ilmu, menimba ilmu dan menyampaikan ilmu. Bukan hanya sekedar sosok berkacamata, yang sehari-hari berkutat dengan buku dan internet. Pelajaran berharga di tengah segala persoalan pribadi yang menderanya, persoalan bangsa yang saat itu dibahas akan memberikan dasar kepadanya untuk membuat action plan baik secara pribadi untuk dirinya sendiri dengan segala apa yang dia miliki agar dapat memberikan makna pada nusa bangsa, negara dan agama. Sempat pula dia berbicara ketika jeda dengan Masatomo Umitsu, seorang professor dari Nagoya University, soal apa yang salah dengan kami orang-orang pribumi.

Ini bukan soal permintaan pertanggung jawaban terhadap apa yang telah dilakukan bangsanya selama 3,5 tahun pada masa Perang Dunia 2, hanya rasa ingin tahu sekaligus rasa ingin maju sebagaimana negeri Sakura yang sungguh luar biasa meskipun pada masa lalu juga mengalami kesulitan dan hambatan yang sama, atau barangkali jauh berat dari bangsa kita. Pemuda tersebut berharap mendapatkan jawaban yang hebat, namun sebagaimana seorang yang bijak, kata-kata singkat memiliki makna mendalam keluar dari mulutnya, dengan bahasa Inggris yang agak terbata-bata. Satu hal yang terngiang di pikiran pemuda itu, yakni ketika beliau berkata “…What does Indonesia really need, is not Suramadu or any other inter-island bridge. Just build more kindergarten with that money..“ (…Sesungguhnya yang kalian butuhkan, bukanlah Suramadu…ataupun jembatan antar pulau lainnya. Kalian hanya perlu membangun banyak Taman Kanak-Kanak dengan uang kalian…).

Sungguh pernyataan ini memberikan kesan mendalam dan mendorongnya untuk memikirkan apa yang sebenarnya orang Jepang lihat terhadap kita. Selama ini apa yang kita sebut Sistem Pendidikan Nasional yang sejatinya memiliki tujuan mulia sebagaimana tertuang dalam UUD ’45. Namun fakta yang ada, dengan maraknya percobaan bunuh diri siswa karena tak lulus ujian, banyaknya siswa stress hingga kesurupan, anak-anak yang kehilangan waktu bermainnya. Pemuda itu memang bukan seorang pakar pendidikan, hanya saja dia menemukan seutas benang merah dari apa yang dikatakan Umitsu. Ia tak berani mengatakan secara tegas bahwa apa yang dia pelajari selama ini salah, hanya saja tidak layaknya bangunan sekolah yang saat ini jadi kendala ternyata bukanlah satu-satunya kondisi yang mesti diperbaiki. Tapi juga, hakikat pendidikan yang seharusnya membentuk manusia seutuhnya, yang memiliki wawasan, keahlian serta keimanan adalah satu hal mendasar yang mesti dipahami. Seorang murid SMP di Indonesia bisa mengerjakan soal Matematika jenjang Universitas di Jerman bukanlah satu hal yang hebat, tapi sungguh beban belajar yang berat bagi siswa hingga banyak siswa yang harus juga ikut les bimbingan belajar dengan biaya yang mahal hanya demi dapat mengikuti ujian berupa lembaran soal.

Secara sepintas Umitsu menyentil pemuda itu khususnya, dan juga sekolah yang telah secara sengaja ataupun tanpa sadar membunuh kreativitas anak-anak, dan menjadikan mereka robot-robot yang terampil menghafal, cakap dalam mengerjakan soal, lihai membaca rumus, namun mandul dalam menemukan permasalahan. Kreativitas yang tiba-tiba dibekukan ketika bocah-bocah itu berseragam. Tak ada lagi anak-anak yang bermain sepakbola ketika sore hari. Yang ada hanya bocah-bocah membawa tas dan buku untuk mendatangi tempat les dan bimbingan belajar. Padahal olahraga membentuk selaput myelin di otak mereka, yang meningkatkan daya ingat mereka terhadap apa yang dipelajari. Namun, tampaknya hal tersebut memang sudah bukan hal yang penting sekali saat ini. Sebenarnya tak cukup hanya membaca buku pelajaran, mencatat materi yang guru sampaikan, menghafal rumus yang guru berikan. Sungguh butuh lebih dari itu untuk menjadi orang hebat kawan….Cobalah tengok Einstein, Thomas Alpha Edison, Steve Jobs, Michael Dell. Mereka merupakan orang-orang berpendidikan, maksudnya benar-benar belajar, bukan menghafal.

Sekali lagi itu hanyalah asumsi si pemuda yang sebenarnya juga merasa ada yang salah dengan dirinya. Ketidakpuasan membuatnya mencari alternatif penghidupan, serta nekad merevolusi cara berpikirnya hanya untuk mencari kenyamanan hidup yang didambakannya. Itu bukanlah soal ekonomi, barangkali ini soal panggilan hati. Agaknya riskan memang untuk seorang pemuda yang hanya berbekal tekad, namun seperti biasa orang semacam dia tak takut dicaci, bahkan hal tersebut menjadi cambuk untuknya guna selalu belajar dan berusaha. Dan itulah ibadah yang nyata selama Tuhan masih memberinya usia.

Pada akhirnya konferensi itu hanyalah pemantik bagi sekumpulan orang dari beberapa negara, latar belakang budaya dan pendidikan untuk berani berkarya, dengan segala tantangan yang menghadang. Dengan berpedoman pada ilmu yang mereka miliki untuk mengelola titipan Tuhan yang selayaknya dijaga dan dimanfaatkan untuk masa kini dan masa mendatang.

Istaghfirunna....n hope u guys enjoy

Thanks to:
Prof. Umitsu M
Musyafa, M.HI
Menteri Kelautan dan Perikanan RI
Sultan HB X


(Cerita by Anang Wid)



Ditulis Oleh : Wahyu Winoto, S.Pd. Hari: 5:29:00 AM Kategori:

0 komentar: