Kronologis Meninggalnya Mbah Maridjan Hingga Proses Pemakamannya

Gunung Merapi meletus Selasa 26 Oktober 2010 pukul 17.23 WIB. dan menimbulkan cukup banyak korban jiwa, termasuk binatang ternak serta rusaknya kampung dan areal pertanian.

Dibalik semua itu terdapat satu cerita yang sedih dan menginspirasi buat kita tentang apa arti kesetiaan yang ditunjukkan oleh Mbah Maridjan, Juru Kunci Gunung Merapi yang sangat setia dalam menjalankan tugas hingga akhir hayatnya.

a. Gunung Merapi Meletus, Mbah Maridjan Tak Mau Mengungsi !

Gunung Merapi meletus Selasa 26 Oktober 2010 pukul 17.23 WIB. Seluruh penduduk telah diungsikan ke tempat yang aman. Namun, juru kunci Gunung Merapi Mbah Maridjan dikabarkan tidak turut turun saat evakuasi berlangsung. Ia kukuh memilih bertahan dan tirakatan di masjid dekat rumahnya di Kinahrejo, Dusun Kinahrejo, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.

"Mbah Maridjan diduga terjebak di Masjid Kinahrejo, yang terletak di samping rumahnya," kata Agus, asisten Mbah Maridjan, saat dihubungi VIVAnews.com pukul 20.30 WIB, Selasa, 26 Oktober 2010.

Diceritakan Agus, saat sirine berbunyi tanda gunung meletus, ia dan keluarga Mbah Mardijan dan beberapa orang yang terakhir bertahan di rumah juru kunci tersebut memutuskan turun dengan mengendarai dua mobil sampai ke tempat aman.

Sampai di tempat evakuasi, dua orang yakni Tutur dari PMI Bantul, Yogyakarta dan Yuniawan Nugroho (Wawan), wartawan VIVAnews.com, berinisiatif untuk menjemput paksa Mbah Maridjan yang masih berdoa di masjid.

"Mereka berdua naik mobil ke atas menjemput Mbah Maridjan. Namun, saat ini kami kehilangan kontak dengan mereka. Kami duga mereka terjebak, karena awan panas sudah sampai ke kediaman Mbah Maridjan," katanya.


b. Mbah Maridjan, Menepati Janji Sampai Mati !

Juru kunci Gunung Merapi itu ikut gugur di pangkuan gunung penebar kesuburan itu. Amanah Sultan HB IX untuk menjaga gunung paling berbahaya di Indonesia itu, selesai sudah.

Nama Raden Ngabehi Suraksohargo atau yang lebih terkenal dengan panggilan Mbah Mardijan melambung seiring dengan peristiwa meletusnya Gunung Merapi, Yogyakarta, pada 2006 lalu.

Mbah Maridjan terkenal karena sebagai juru kunci Gunung Merapi, dia tidak mau mematuhi perintah untuk turun gunung oleh Sultan Hamengkubuwono X. Akibatnya, mata dunia pun terbelalak pada sosok renta yang sangat sederhana ini.

Bahkan, saking terkenalnya pria kelahiran Kinahrejo, Cangkringan, Sleman, tahun 1927 itu, Pemerintah Jerman yang saat itu sedang menggelar hajatan Piala Dunia bermaksud mengundang Mbah Maridjan untuk menghadiri pembukaan Piala Dunia 2006. Si Mbah lantang menolak. "Kalau saya ke Jerman, siapa yang mencari rumput sapi saya," tutur pria sepuh itu.

Bagaimana Mbah Maridjan setelah dikenal dunia? Apalagi Si Mbah saat ini telah menjadi ikon produk jamu "Roso-roso"! Adakah perbedaan dengan Si Mbah setelah lebih 'berada'? Ternyata tidak. Mbah Maridjan tetap seperti yang dulu, ramah, rendah hati dan selalu tersenyum menghadapi siapa pun meski belum kenal sama sekali.

"Saya ya tetap seperti ini," ujar Mbah Maridjan dengan Bahasa Jawa khasnya saat
ditemui detikcom di sela-sela kesibukannya yang terus menerima tamu di saat
musim liburan Natal dan Tahun Baru, Senin (24/12/2007) silam.

Mbah Maridjan menuturkan, pascameletusnya Gunung Marapi pada 2006 silam, banyak perubahan pada dirinya. Selain menjadi terkenal, dia menjadi ikon produk jamu yang juga membuat namanya semakin melambung.

"Tapi soal honor, itu bukan saya yang mengurusi. Tapi anak-anak saya, dan masyarakat juga menikmati hasilnya," papar pria bersahaja ini.

Pengalaman lucu pun diceritakan Mbah Maridjan saat pengambilan gambar dalam iklan tersebut. "Waktu itu saya diajari agar saya mengangkat tangan saya sambil membawa gelas dan mengatakan 'roso-roso'. Sering diulang," kata Mbah Maridjan disambut tawa para tamunya.

Karena usianya yang semakin renta, Mbah Maridjan mengaku sudah tidak kuat lagi melakukan aktivitas sehari-hari semisal berladang dan mencari rumput. "Rumput satu kali mencari biasanya bobotnya 50 kilo. Jadi pundak saya sudah nggak kuat untuk mengangkatnya," cerita Mbah Maridjan sambil tertawa.

"Kan sudah minum jamu 'roso-roso' itu, Mbah?" Mbah Maridjan hanya tertawa lebar
mendengar pertanyaan tersebut.

Sayangnya, saat itu Mbah Marijan tidak mau lagi difoto bareng dengan pengunjung. Hal ini berbeda 2006 lalu tatkala Si Mbah dengan sabar bersedia meladeni tamu yang hendak berpose dengannya.

"Nanti kalau mau difoto tembok saya sudah nggak bisa lagi menampung foto-fotonya," ujar si mbah sembari menunjukkan foto-foto Mbah Maridjan dengan berbagai pose yang terpampang di tembok rumahnya.

Namun kini, sosok sederhana dan rendah hati ini telah tiada. Mbah Maridjan menepati janjinya kepada Sultan HB IX untuk terus menjaga Merapi sampai akhir hayat.

"Dilihat dari batiknya dan kopiah yang dipakai di kepalanya kita yakin (itu jenazah Mbah Maridjan)," kata petugas Tim SAR Yogyakarta, Suseno, saat ditemui di RS dr Sardjito, Yogyakarta, Rabu (27/10/2010). Mbah Maridjan ditemukan dalam posisi sujud di dapur. Luka bakar terdapat di tubuhnya. Bajunya robek-robek.




c. Pemakaman Mbah Maridjan

Jenazah Mbah Maridjan dimakamkan di pemakaman keluarga Srumen, Glagaharjo, Cangkringan, Sleman. Tokoh-tokoh masyarakat hadir di pemakamannya, termasuk Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie.




Pemakaman ini menutup tugas Mbah Maridjan sebagai juru kunci Gunung Merapi secara paripurna, sebagai orang terakhir yang tinggal di Merapi ketika pada Selasa 26 Oktober 2010 petang, awan panas Merapi 'wedhus gembel' menerjang Dusun Kinahrejo, Umbulharjo, Cangkringan. Dan jasa Mbah Maridjan ditemukan dalam posisi bersujud di rumahnya yang tunggang langgang dihajar awan panas.

Meski terpisah, rumah peristirahatan terakhir pria yang diberi gelar Mas Penewu Suraksohargo oleh Sultan Hamengku Buwono IX ini berada tak jauh dari pemakaman massal korban Merapi di Sidorejo, Umbulharjo. Hanya dibatasi Sungai Gendol, kata Agus Winaryo, salah seorang kerabatnya.

Dan makam ini pun juga tak jauh dari Kinahrejo yang sekarang bak kampung hantu berdebu vulkanik. "Kira-kira hanya 5 kilometer dari kampungnya," kata Agus Winaryo.

Raja Kraton Yogyakarta, Sri Sultan HB X, mengirimkan adiknya GBPH Prabukusumo dan putri sulungnya GKR Pembayun untuk menghadiri pemakaman Mbah Marijan, seorang abdi kraton yang sampai akhir hayatnya bertugas menjadi juru kunci Merapi. Prosesi pemakaman Mbah Marijan sendiri berlangsung sederhana, namun dihadiri sekitar 1.000 pelayat.

Gusti Prabu dalam sambutan pemakaman Mbah Marijan tersebut kembali menyatakan bahwa Kraton Yogyakarta turut berbelasungkawa atas meninggalkan Mbah Marijan. ''Beliau begitu setia menjaga amanat keraton untuk menjaga budaya keraton di lereng Merapi hingga akhir hayatnya,'' kata Gusti Prabu.

Mbah Marijan dimakamkan Kamis di Dusun Srunen, Desa Glagahharjo, Cangkringan. Leluhur dan keluarga Mbah Marijan memang umum dimakamkan disana, termasuk kakek Mbah Marijan yang bernama Parto Setiko.

Empat kerabat Mbah Marijan yang juga tewas pada erupsi Merapi Senin lalu juga dimakamkan di TPU Srunen itu. Mereka adalah Ngudi (adik ipar Mbah Marijan), Nurudi (anak almarhum Ngudi), serta Mursiam dan Nurul (balita umur 2,5 tahun).

Istri Mbah Marijan, Ponirah (73 tahun) hadir pada pemakaman suaminya ini. Selain para keluarga, tampak juga hadir Bupati Sleman Sri Purnomo. Seorang tokoh NU di Sleman, Noor Jamil, saat prosesi pemakaman Mbah Maridjan, mengajak seluruh hadirin mendoakan semua korban Gunung Merapi.

''Menopo Mbah Marijan niku tiyang sae? (Apakah Mbah Maridjan itu orang baik?)'' kata Noor Jamil, bertanya pada hadirin pelayat. ''Sae,'' hampir bersamaan jamaah pelayat memberikan jawabannya.

Sebelum pemakaman Mbah Marijan ini, 20 jenazah korban Merapi lain dimakamkan secara massal di TPU Dusun Sidorejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan. Pemakaman itu dipimpin langsung Bupati Sri Purnomo. Jenazah dimasukkan dalam liang makam berukuran besar. Kemudian jenazah yang sudah dimasukkan dalam peti mayat itu diletakkan berjajar dua.

Di pemakaman itu diberikan penanda nama-nama almarhum. ''Kita semua berduka atas bencana ini. Semoga kejadian ini menjadi pelajar berharga dan ke depan penanggulangan bencana Gunung Merapi bisa lebih baik,'' ungkap Bupati Sleman.

Mereka yang dimakam secara massal adalah Sarno Utomo, Imam Nurkholis, Slamet Widodo, Imam/Rahmat, Ny Emi, Ny Mufita, Andriyanto, Cipto Sumarjo, Cipto Sumarjo, Ny Sunarti alias Yunarti, Ny Sarworejo, Wiyono, Ny Pujo, Muji/Adi Wiyono, dan Harno Wiyono, Sugiman, Sadjiman, Ny Puji Sarono, Wahono Suketi, dan Suranto.



Ref:
- http://www.detiknews.com/
- http://blogger-pesta.blogspot.com/2010/10/
- http://id.news.yahoo.com/viva/20101028/



Ditulis Oleh : Wahyu Winoto, S.Pd. Hari: 3:06:00 AM Kategori:

0 komentar: