Hukum Pernikahan Beda Agama (Pandangan Paramadina)

Hukum Pernikahan Beda Agama (Pandangan Paramadina)


Yayasan Paramadina pernah mendapatkan kontroversi karena menikahkan pasangan berbeda agama. Praktek ini di Indonesia tidak diperbolehkan. Kasus perkawinan artis Deddy Corbuzier dan Kalina, di awal 2005 dimana Deddy yang Katolik dinikahkan secara Islam oleh penghulu pribadi yang dikenal sebagai tokoh dari Yayasan Paramadina banyak diperbincangkan. Namun hal ini disanggah dalam surat resmi Machnan R Kamaluddin, Ketua Umum Yayasan Wakaf Paramadina dengan menyatakan bahwa Yayasan Paramadina bukan lembaga perkawinan. (Ref: Wikipedia)

Mengapa ada fenomena semacam itu?
Ternyata menurut yayasan Paramadina, pernikahan lintas agama itu halal atau diperbolehkan, merekapun memiliki dasar yang sangat kuat, berikut saya cuplikkan buat kamu:



Dari KKA (Klub Kajian Agama) - Paramadina ke - 200

Trend pernikahan beda agama kian hari makin marak. Sayangnya di negeri ini pernikahan model campuran ini belum mendapat tempat, sehingga mereka yang akan melangsungkan nikah beda agama harus hijrah ke Singapura atau Australia.

Sebab dalam UU Perkawinan No. 1 Th. 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang disahkan dengan Inpres No. 1 Th. 1991 tidak mengakomodir perkawinan beda agama. Bahkan pada 1 Juni 1980 Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang mengharamkan perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan nonmuslim, termasuk perempuan ahlul kitab, maupun sebaliknya.

Tetapi kini ada terobosan baru yang dilakukan oleh Pusat Studi Islam Paramadina. Lembaga yang didirikan Nurcholish Madjid 30 Oktober 1986 silam ini dalam Klub Kajian Agama (KKA) ke-200, yang digelar pada 17 Oktober 2003 lalu, berani mengeluarkan tafsir baru atas pernikahan beda agama.

Dalam acara yang bertepatan dengan ulang tahun Yayasan Wakaf Paramadina ke-17 ini menghadirkan tiga narasumber; Kaustar Azhari Noer, Zainun Kamal dan Musdah Mulia.

- Landasan Historis

Menurut Kaustar, pernikahan muslim dengan non-muslim tidaklah dilarang. Ada dalil, Muhammad sendiri menikahi wanita lain agama. Nabi Muhammad pernah menikahi Maria Qibtiyah, perempuan Kristen Mesir dan Sophia yang Yahudi, papar dosen UIN Syarif Hidayatullah ini. Nabi tidak mensyaratkan mereka untuk masuk Islam, bahwa kemudian masuk Islam itu soal lain, jelasnya. Zainun menimpali bahwa para sahabat dan tabiin juga melakukan hal serupa.

Usman bin Affan kawin dengan Nailah binti Quraqashah al-Kalbiyah yang Nasrani, Thalhah bin Ubaidillah dengan perempuan Yahudi di Damaskus, Huzaifah kawin dengan perempuan Yahudi di Madian, rinci dosen Universitas Paramadina ini. Ia menambahkan para sahabat lain, seperti Ibn Abbas, Jabir, Kaab bin Malik, dan Al-Mughirah bin Syubah kawin dengan perempuan-perempuan ahlul kitab.

Lantas bagaimana dengan dalil nash atau fiqh-nya? Menurut Musdah Mulia, pada prinsipnya pandangan para ulama mengenai nikah beda agama ini terpola kepada tiga pendapat. Pertama, melarang secara mutlak, baik kepada kategori musyrik, ahlul kitab maupun nonmuslim. Kedua, membolehkan secara bersyarat, misalnya laki-laki muslim dengan perempuan nonmuslim dari ahlul kitab. Ketiga, membolehkan perkawinan antara muslim dan nonmuslim, baik musyrik maupun ahlul kitab.

- Dalil Teks al-Quran

Ketiga pendapat tersebut berangkat dari surat al-Baqarah : 221, al-Mumtahanah : 10 dan al-Maidah : 5. Sebagian ahli tafsir (mufassir) menyamakan kedudukan ahlul kitab dengan musyrik dan kafir, sehingga mereka mengharamkan perkawinan beda agama.

Padahal menurut Zainun, berdasarkan informasi dari surat al-Baqarah : 105 dan al-Bayinah : 1, jelas bahwa ahlul kitab dan musyrik itu mempunyai arti dan makna yang berbeda. Maka, berdasarkan surat al-Maidah : 5, seorang muslimpun diperbolehkan untuk menikahi perempuan ahlul kitab.

Mengutip Imam Muhammad Ridha, Zainun menjelaskan, bahwa Abduh sebagaimana dinukilkan muridnya, Rasyid Ridha, menyatakan yang haram dikawini oleh laki-laki muslim dalam al-Baqarah : 221 itu adalah perempuan-perempuan musyrik Arab.

Musdah menambahkan, pandangan yang melarang laki-laki muslim menikah dengan perempuan ahlul kitab itu berangkat dari pemahaman yang stereotype tentang perempuan sebagai sumber fitnah. Oleh sebab itu, jika dengan perkawinan tersebut, suami dan anak-anak dikhawatirkan terjatuh ke dalam fitnah, maka hukum perkawinannya jelas haram.

- Ahlul Kitab

Nah, siapakah yang termasuk ahul kitab?

Imam Abu Hanifah dan mayoritas ulama fiqh, seperti dikutip Zainun, berpendapat bahwa siapapun yang mempercayai salah seorang nabi atau salah satu kitab suci yang pernah diturunkan oleh Allah, maka ia termasuk ahlul kitab. Rasyid Ridha bahkan menegaskan bahwa Majusi, Sabian, Hindu (Brahmanisme), Buddha, Konghucu, Shinto dan agama-agama lain dapat dikategorikan sebagai ahlul kitab.

Mengenai perkawinan muslim dengan nonmuslim, ketiga narasumber di atas sepakat bahwa perkawinan tersebut tetap sah sebab tidak ditemukan satu ayatpun dalam al-Quran yang secara eksplisit mengharamkan perempuan-perempuan muslim kawin dengan laki-laki agama apapun selain hanya dari kaum kafir Quraisy.

Maka, sesuai dengan kaidah ushul fiqh, segala sesuatu selain ibadah ritual, adalah boleh dilakukan selama tidak ada teks yag melarang atau mengharamkan.


- Pandangan saya sebagai muslim:

Saya melihat masalah ini termasuk masalah yang rumit (dan ada banyak kepentingan didalamnya) jika diperdebatkan, disini saya hanya mengajak semua pembaca untuk mencermati masalah ini dengan seksama, dengan tanpa ego atau kepentingan apapun. Referensi berikut didasarkan pada Al-Quran:

- Al-Maaidah:5

Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.


Lalu, coba bandingkan dengan ayat berikut:


- Albayyinah: 6

“Dan sesungguhnya orang-orang Kafir dari golongan Ahli kitab dan musyrikin, mereka kekal di neraka Jahannam, mereka adalah seburu-buruk makhluk”.


Kemudian:


Al-Baqarah:221

Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.


Setelah mencermati ayat-ayat tersebut kita tentu bertanya-tanya, mengapa seolah-olah dalam Al-Qur'an ada 2 pandangan seperti itu?

Saya tidak punya kapasitas yang memadai untuk menjawab hal ini, Alloh-lah yang lebih mengetahui. 


Jadi jika anda menginginkan menikah dengan Laki-laki atau Perempuan yang berbeda agama, saran saya silahkan hubungi Ulama atau Kiyai yang terpercaya yang Insya Alloh memiliki pandangan yang lurus dan diridhoi oleh Alloh SWT.

Semoga artikel "Hukum Pernikahan Beda Agama (Pandangan Paramadina)" ini dapat bermanfaat.


*****
Jika ada pertanyaan, kesan pesan, maupun saran silahkan tuliskan melalui kolom komentar dibawah artikel ini. 

*****



Ditulis Oleh : Wahyu Winoto, S.Pd. Hari: 7:07:00 AM Kategori:

0 komentar: