Mengapa Wanita Karir Susah Menikah

JIKA kita perhatikan dalam kenyataan, kaum wanita umumnya cenderung mengharapkan soulmate atau calon suami dengan status sosial dan ekonomi di atas dirinya atau minimal setara. Ini manusiawi, sebab betapapun mandirinya seorang perempuan, ia masih berharap bakal calon suaminya akan mampu memberikan perlindungan atau mengayomi dirinya dan anak-anaknya. Itulah sebabnya, wanita merasa perlu sosok calon suami yang lebih superior dibanding dirinya.

a. Latar Belakang dan Strata Sosial

Bagi wanita biasa dari strata sosial bawah, perbedaan status sosial-ekonomi biasanya jarang menjadi persoalan. Sebab justru dengan level sosial, ekonomi, dan pendidikan yang rendah, kaum perempuan lapisan bawah akan lebih mudah menemukan pasangan dari strata yang lebih tinggi atau setara dengan dirinya.

Namun, status atau strata sosial-ekonomi itu sering menjadi masalah bagi wanita karir lajang di kota-kota besar seperti Jakarta. Sebab tidak sedikit kaum perempuan pekerja kantoran ini telanjur menduduki posisi tinggi, sebagai eksekutif perusahaan atau pimpinan instansi pemerintah misalnya, ketika statusnya masih gadis. Dengan demikian, pendapatan dan kesejahteraan hidupnya pun cenderung di atas rata-rata. Belum lagi tingkat pendidikannya yang bisa jadi sudah jenjang S2 atau S3.

Ironisnya, dengan semua kelebihan yang sudah di tangan itu, seringkali mereka justru mengalami kesulitan menemukan pendamping hidup. Boleh jadi, salah satu sebabnya: jumlah para pria dengan strata sosial-ekonomi di atas mereka hanya bisa dihitung dengan jari, dan itu pun rata-rata sudah menikah.

Sementara berharap mendapatkan calon suami dengan kualifikasi di bawahnya juga bukan hal mudah. Ini lantaran lelaki yang berada di bawah status sosialnya buru-buru akan merasa minder atau mundur, begitu mengetahui perempuan yang didekatinya memiliki status sosial-ekonomi jauh di atas dirinya. Belum lagi seringnya pria-pria lajang juga lebih suka mendekati gadis-gadis muda daripada merapat kepada para wanita karir yang sudah mapan, namun berusia tiga puluhan atau bahkan menjelang kepala empat.

Pada saat beginilah, kaum perempuan karir biasanya baru menyadari bahwa keinginannya menikah, setelah posisi karirnya tinggi dan mapan secara ekonomi, justru menjadi masalah tersendiri. Bisa jadi ia kini sudah mempunyai kendaraan pribadi yang cukup mewah dan rumah real estate di lokasi strategis. Namun, semua kepemilikan yang dulu direncanakan demi persiapan berumah tangga itu, sekarang seperti tak ada artinya lagi. Semua kemewahan itu bukannya mempermudah, namun malah menjadi kendala, bagi keinginannya untuk menikah.

b. Perfeksionis

Problem yang mirip dengan kasus wanita karir, namun bernuansa agak berbeda, dialami sebagian aktivis muslimah berjilbab. Kaum perempuan jilbaber ini biasanya tidak terlalu menjadikan kriteria duniawi, seperti karir atau kemapanan ekonomi, sebagai ukuran calon pendamping hidup idaman. Namun sesuai latar belakangnya yang religius, lazimnya mereka akan menempatkan ketaatan atau kesalehan beragama calon pasangan sebagai kriteria utama. Mereka acap merujuk hadis Nabi, agar memilih calon suami dengan pemahaman agama yang baik, sehingga dapat menjadi imam keluarga.

Yang jadi masalah: para muslimah seperti itu, sadar atau tidak, juga kerap terjebak menjadi pribadi yang sangat perfeksionis. Dengan kata lain, ia menjadi seorang yang amat menuntut kesempurnaan beragama calon pasangannya. Akibatnya, dalam mempertimbangkan ajakan ta’aruf (PDKT) atau lamaran seorang pria, seringkali mereka bukannya mencoba mengapresiasi kelebihan-kelebihan para peminat, melainkan justru sibuk mencari-cari cacat calon pasangannya dalam menjalankan agama.



Kawan-kawan pria saya, yang ingin menikah, kerap mengeluhkan perlakuan para perempuan salehah seperti itu. Sebagian di antara mereka ini tidak saja menuntut syarat calon suami yang rutin menjalankan shalat lima waktu atau mampu membaca Al Quran misalnya, bahkan ada yang tidak segan-segan meributkan tajwid (cara membaca ayat Al Quran) yang tidak boleh salah sedikit saja. Dan masalah seperti ini pun sudah bisa menjadi alasan untuk menolak lamaran.

Ada pula sebagian lainnya yang mempersoalkan penampilan lahiriah pria calon pelamarnya. Misalnya menyoal si laki-laki yang gemar memakai jeans yang dianggap kebarat-baratan, atau menyoal si pria yang tidak berjenggot, dan hal-hal tidak terlalu prinsipil lainnya.

Walhasil, saking beratnya atau banyaknya syarat yang diajukan sebagian muslimah jenis ini, mengakibatkan tidak sedikit pria baik-baik yang memilih untuk mundur teratur. “Mereka seperti mencari sosok malaikat sebagai calon suami,” begitu kira-kira gerutuan teman saya yang pernah mengalaminya.

c. Siapa Saja

Implikasi dari sikap yang terlalu tinggi dalam menetapkan kriteria bagi calon suami tadi, baik dalam kasus wanita karir maupun perempuan aktivis muslimah, nyaris sama saja: mereka sulit mendapatkan pasangan hidup. “Terlalu pilih-pilih sih,” begitu komentar orang.

Padahal, tanpa terasa, waktu terus berlalu dan umur pun semakin menua. Sementara secara alamiah, perempuan memiliki usia kesuburan yang lebih pendek ketimbang laki-laki. Bayangan akan segera memasuki fase menopause (tidak subur lagi) pada saat belum bersuami pun semakin menambah rasa frustasi. Belum lagi adanya tekanan sosial berupa stigma sebagai “perawan tua” yang menyakitkan, juga munculnya desakan dari orangtua agar segera menikah.

Situasi yang makin tidak kondusif bagi para wanita dewasa yang masih berstatus gadis atau belum menikah tadi kadangkala membuat mereka tak segan membanting harga. Dengan kata lain, seperti sikap ekstrem mereka saat menetapkan syarat calon suami yang sangat ketat, akhirnya mereka pun mengubah syaratnya menjadi amat longgar.

Ibaratnya, jika semula slogannya adalah “siapa saya”, yang mencerminkan sikap “high profile” dalam menilai diri sendiri, kemudian menurun kadarnya menjadi “siapa dia” ketika usia semakin menanjak. Dan ketika sudah mentok, kriteria pun anjlok menjadi “siapa saja”, alias yang penting segera menikah.

Syarat-syarat calon suami yang dulunya seperti bintang di langit pun diubah menjadi sangat minimalis. Misalnya, yang penting sang calon pasangan hidup seagama dan memiliki penghasilan tetap. Lain-lainnya bisa dibereskan sambil jalan.

Dari uraian tadi bisa disimpulkan bahwa mereka yang mengawali niat mencari calon pasangan hidup dengan mematok kriteria serba sempurna, kadang-kadang justru menemui kesulitan untuk menikah, dan akhirnya terpaksa harus membanting harga –dengan bersedia menerima mereka yang bahkan sangat jauh di bawah standar yang semula diharapkannya. Dengan kata lain, obsesi atas kesempurnaan calon pasangan hidup kadang-kadang malah berujung pada ketidaksempurnaan hasil yang diperolehnya.

Jika tidak demikian, yang lebih parah lagi: tidak sedikit di antara perempuan itu malah memutuskan membujang selamanya. Biasanya, untuk membenarkan pilihannya ini, mereka akan membuat justifikasi atau apologi. Misalnya dengan mengatakan bahwa pernikahan tidak menjamin kebahagiaan, betapa banyaknya pasangan yang menikah justru menderita akibat selingkuh atau cerai, tanpa menikah juga dapat mengadopsi anak dari panti asuhan, dan seterusnya.

Sementara bagi perempuan yang salehah, argumennya: bahwa boleh saja ia tidak bertemu jodoh selama di dunia ini, namun Allah telah menyediakan bidadari surga untuknya di akhirat nanti…

Maka dari itu, mumpung belum terlambat, mungkin saatnyalah kita menata ulang niat ketika akan membangun sebuah hubungan. Mungkin kita perlu berpikir bahwa lebih baik mengawalinya dengan pasangan yang mungkin tidak sesempurna yang diharapkan, namun justru dapat meraih kesempurnaan di akhir perjalanan: keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah (hidup rukun penuh cinta kasih), dan putra-puteri yang sehat dan saleh serta salehah. Amin.


Ref: Forum Kompasiana



Ditulis Oleh : Wahyu Winoto, S.Pd. Hari: 2:58:00 AM Kategori:

0 komentar: