3 Fatwa Haram MUI yang Terbaru

a. MUI haramkan infotainment (bagi televisi yang menayangkan maupun permisa yang menontonnya)

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram untuk tayangan infotainment baik bagi televisi yang menayangkan maupun permisa yang menontonnya.

Fatwa tersebut disahkan dalam pleno MUI dalam Musyawarah Nasional (Munas) di Jakarta, Selasa oleh Ketua Komisi Fatwa MUI, Ma`ruf Amin.

Menurut ketentuan umum fatwa mengenai infotainment, menceritakan aib, kejelekan gosip, dan hal-hal lain terkait pribadi kepada orang lain dan atau khalayak hukumnya haram.

Dalam rumusan fatwa tersebut juga disebutkan upaya membuat berita yang mengorek dan membeberkan aib, kejelekan gosip juga haram.

Begitu juga dengan mengambil keuntungan dari berita yang berisi tentang aib dan gosip dinyatakan hukumnya haram oleh MUI.

Namun MUI memperbolehkan dengan pertimbangan yang dibenarkan secara syar`i untuk kepentingan penegakan hukum, memberantas kemungkaran untuk menayangkan dan menyiarkan serta menonton, membaca dan atau mendengarkan berita yang berisi tentang aib.

Terhadap fatwa ini, MUI merekomendasikan perlu dirumuskan aturan untuk mencegah konten tayangan yang bertentangan dengan norma agama, keadaban, kesusilaan dan nilai luhur kemanusiaan.

Juga direkomendasikan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) diminta untuk meregulasi tayangan infotainment untuk menjamin hak masyarakat memperoleh tayangan bermutu dan melindunginya dari hal-hal negatif.

Lembaga sensor film diminta menjamin langkah proaktif untuk menyensor tayangan infotainment guna menjamin terpenuhinya hak-hak publik dalam menikmati tayangan bermutu.

Menurut Ma`ruf, permasalahan infotainment sebelumnya tidak masuk dalam pembahasan namun karena banyaknya permintaan untuk itu akhirnya diputuskan untuk dibahas.

"Kita memutuskan membahas dan membuat fatwa infotainment karena didasarkan pemberitaan saat ini yang dirasa sudah berlebihan," kata Ma`ruf.


b. MUI haramkan nikah wisata

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengharamkan nikah wisata atau pernikahan yang dilakukan oleh wisatawan Muslim untuk jangka waktu selama ia dalam perjalanan wisata. "Nikah wisata atau biasa dikenal dengan nikah mu`aqqat hukumnya haram," demikian dibacakan oleh Sekretaris Komisi C yang membahas fatwa Asrorun Ni`am Sholeh, dalam Musyawarah Nasional (Munas) MUI di Jakarta, Selasa (27/7).

Pernikahan yang dimaksudkan adalah bentuk pernikahan yang dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukun pernikahan, namun pernikahan itu diniatkan untuk sementara saja.

Ketua MUI Bidang Fatwa Ma`ruf Amin mengatakan setelah penetapan fatwa tersebut pihaknya akan melakukan sosialisasi mengenai keputusan tersebut. "Kita akan sosialisasikan ke daerah-daerah dimana ini terjadi," kata Ma`ruf.

Sosialisasi akan dilakukan ke daerah karena Ma`ruf menyebut praktek pernikahan semacam itu biasanya terjadi tidak secara resmi namun dibawah tangan dan umum dilakukan di beberapa daerah tertentu.

Di beberapa daerah, praktek nikah wisata itu dilakukan oleh penduduk setempat karena alasan ekonomi dimana para turis yang menikahi mereka biasanya harus membayar "mahar" dalam jumlah lumayan besar, seperti yang terjadi di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat, dengan turis asal Arab Saudi selama musim haji.

Setelah sosialisasi, MUI juga akan mengeluarkan rekomendasi terkait termasuk kemungkinan mengeluarkan peraturan untuk menjalankan fatwa tersebut. "Kita mungkin akan bicara dengan menteri atau DPR kalau menyangkut (pembuatan) Undang Undang," kata Ma`ruf.


c. MUI haramkan operasi ganti kelamin

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengharamkan operasi mengganti alat kelamin yang dilakukan dengan sengaja. MUI juga meminta kepada Kementerian Kesehatan membuat regulasi pelarangan terhadap operasi alat kelamin. "Mengubah alat kelamin dengan sengaja tanpa ada alasan alamiah dalam diri yang bersangkutan, hukumnya haram," kata Sekertaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh, di Jakarta, Selasa (27/7).

MUI juga melarang kepada siapa saja untuk membantu melakukan operasi ganti kelamin. Organisasi profesi kedokteran diminta untuk membuat kode etik kedokteran terkait larangan praktik operasi ganti kelamin.

MUI hanya memperbolehkan penyempurnaan alat kelamin. Membantu melakukan operasi penyempurnaan kelamin juga diperbolehkan. "Bagi seseorang guna menyempurnakan kelaki-lakiannya atau sebaliknya, hukumnya boleh," katanya.

Kedudukan hukum bagi seseorang yang telah melakukan operasi kelamin, dalam pandangan MUI, jenis kelaminnya tetap sama sebelum dilakukan operasi, meski telah ada penetapan dari pengadilan. "MA diminta membuat surat edaran kepada hakim untuk tidak menetapkan permohonan penggantian jenis kelamin dari hasil operasi," tegasnya.

MUI juga meminta agar ulama dan psikiater lebih aktif melakukan pendampingan terhadap seseorang yang memiliki kelainan psikis yang mempengaruhi seksual, agar kembali normal.


(Ref: Berita Antara dan Liputan6)



Ditulis Oleh : Wahyu Winoto, S.Pd. Hari: 1:34:00 AM Kategori:

0 komentar: