HUBUNGAN SELF EFFICACY PASIEN TERAPI RUMATAN METADON DAN KEPATUHAN MENJALANKAN PROGRAM TERAPI TERHADAP TINGKAT KESEMBUHAN PASIEN

HUBUNGAN ANTARA SELF EFFICACY PASIEN TERAPI RUMATAN METADON DAN KEPATUHAN MENJALANKAN PROGRAM TERAPI TERHADAP TINGKAT KESEMBUHAN PASIEN


Kesehatan adalah hal yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup manusia, secara lebih luas kesehatan akan berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Pada masa lalu, sebagian individu dan masyarakat memandang sehat dan sakit sebagai sesuatu hitam dan putih, dimana kesehatan merupakan kondisi kebalikan dari penyakit atau kondisi yang terbebas dari penyakit. Anggapan atau sikap yang sederhana itu tentu dapat diterapkan dengan mudah; akan tetapi mengabaikan adanya rentang sehat-sakit.
Pendekatan yang digunakan pada abad ke-21, sehat dipandang dengan perspektif yang lebih luas. Luasnya aspek itu meliputi rasa memiliki kekuasaan, hubungan kasih sayang, semangat hidup, jaringan dukungan sosial yang kuat, rasa berarti dalam hidup, atau tingkat kemandirian tertentu (Haber, 1994). Sehat merupakan sebuah keadaan yang tidak hanya terbebas dari penyakit, akan tetapi juga meliputi seluruh aspek kehidupan manusia yang meliputi aspek fisik, emosi, sosial dan spiritual.
Menurut WHO (1947) sehat itu sendiri dapat diartikan bahwa suatu keadaan yang sempurna baik secara fisik, mental, dan sosial, serta tidak hanya bebas dari penyakit atau kelemahan. Definisi WHO tentang sehat mempunyai karakteristik berikut yang dapat meningkatkan konsep sehat yang positif (Edelman dan Mandle, 1994);
1. memperhatikan individu sebgai sebuah sistem yang menyeluruh,
2. memandang sehat dengan mengidentifikasikan lingkungan internal dan eksternal,
3. penghargaan terhadap pentingnya peran individu dalam hidup.

Di Indonesia, tujuan pembangunan dibidang kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010 adalah meningkatkan kesadaran, kemauan, kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud kesehatan masyarakat yang optimal melalui terciptanya bangsa dan negara indonesia yang ditandai oleh penduduknya hidup dalam lingkungan dan perilaku yang sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara merata dan adil serta memiliki derajat kesehatan yang optimal diseluruh wilayah Republik Indonesia (Depkes RI, 1999).
UU No. 23, 1992 tentang kesehatan menyatakan bahwa: kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Dalam pengertian ini maka kesehatan harus dilihat sebagai satu kesatuan utuh terdiri dari unsur-unsur fisik, mental, dan sosial, dan didalamnya kesehatan jiwa merupakan bagian integral kesehatan. Dalam pengertian yang paling luas sehat merupakan suatu keadaan yang dinamis, dimana individu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan lingkungan internal (psikologis, intelektual, spiritual, dan penyakit) dan eksternal (lingkungan fisik, sosial, dan ekonomi) dalam mempertahankan kesehatannya.
Seiring perkembangan jaman, tingkat kesehatan masyarakat juga ikut mengalami pergeseran. Pola hidup masyarakat juga mengalami perubahan, termasuk penyimpangan-penyimpangan dalam perilaku sehat. Saat ini didalam masyarakat kita, terutama pada kalangan remaja muncul trend penyalahgunaan narkoba yang jelas-jelas berdampak buruk pada kesehatan. Fenomena penyalahgunaan narkoba sebenarnya sudah ada sejak jaman pra sejarah, efek farmakologis dari zat psikoaktif yang terdapat pada berbagai dedaunan, buah, akar, bunga dari aneka jenis tanaman sudah lama diketahui manusia purba. Seiring dengan perkembangan jaman, teknologi, dan ilmu kedokteran pun bertambah maju sehingga manusia dapat mengolah zat-zat psikoaktif dengan cara yang lebih canggih. (http://slblentengagung.net).
Trend penyalahgunaan dan peredaran narkoba saat ini jangkauan permasalahannya semakin rumit dengan ditemukannya beberapa fakta dimasyarakat, antara lain :
- kecenderungan usia tingkat pemula penyalahgunaan narkoba yang semakin muda,
- tingginya angka penyalahgunaan narkoba dan semakin cepatnya penyebaran virus HIV/AIDS oleh penyalahgunaan narkoba suntik.
Kebanyakan penularan HIV/AIDS adalah melalui jarum suntik yang digunakan oleh para pengguna narkoba suntik atau biasa disebut “penasun”. Narkoba merupakan singkatan dari narkotika dan obat-obatan berbahaya. Narkoba biasa juga dikenal dengan istilah NAPZA yaitu narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya. Untuk Indonesia kasus AIDS pertama kali dilaporkan pada 1987, yang menimpa seorang warga negara asing di Bali. Tahun berikutnya mulai dilaporkan adanya kasus dibeberapa provinsi di Indonesia. Sampai akhir September 2003 tercatat ada 1.239 kasus AIDS dan 2.685 kasus HIV yang telah dilaporkan.
Holmberg (1996) memperkirakan secara kasar bahwa separuh dari infeksi HIV/AIDS terdapat pada penasun. Di kalangan pengguna heroin makin banyak dilaporkan angka kejadian infeksi HIV pada laki-laki dan perempuan yang menggunakan zat untuk bersenang-senang selain melalui suntikan. Diperkirakan hal tersebut disebabkan karena infeksi melalui kontak seksual. Sero-surveilance pada penasun yang memperlihatkan hasil positif HIV dan datang berobat di RSKO sebanyak lebih dari 50%, dan 59,49% untuk yang berobat di RS Sanglah Bali, data sampai Juni 2005. (Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 94/MENKES/SK/VII/2006).
Melihat fenomena semakin besarnya penyalahgunaan narkoba di Indonesia, sesungguhnya pemerintah sudah memberlakukan peraturan atau keputusan presiden untuk menanggulangi masalah narkoba. Pada 1971 Instruksi Presiden diterbitkan untuk membentuk Badan Koordinasi Penanggulangan Narkotik. Lalu Lembaga Ketergantungan Obat dibentuk pada Juli, 1972. Hal yang penting adalah diterbitkannya Undang-undang No. 23, 1976 dan Inpres No. 9, 1976 tentang Narkotik. Undang-undang No. 23, 1992 tentang Kesehatan juga menegaskan tentang larangan pemakaian obat-obatan narkoba. Kemudian pada tahun 1997 juga diterbitkan Undang-undang No. 5 tentang Psikotropika yang jelas melarang narkoba serta berbagai jenisnya, seperti shabu-shabu, dan jenis-jenis lainnya.
Undang-undang No. 23, 1976 tentang narkoba telah melarang tanpa ijin hal-hal seperti:
(1) menanam, memiliki, menyimpan opium, ganja atau kokain;
(2) tanpa hak memproduksi, mengekstraksi, mencampur atau menyiapkan, memiliki dan menyimpan narkoba;
(3) membawa, mengangkut dan memindahkan narkoba;
(4) memakai sendiri atau memberi narkoba kepada orang lain
(5) mengimport, mengeksport, menawarkan, menyalurkan, menjual atau membeli, menerima, atau jadi agen penjual atau pembeli, dan saling menukar narkoba; dan
(6) memakai sendiri narkoba.

Jadi jelas terlihat bahwa pemerintah tidak pernah berhenti melarang pemakaian narkoba (http://pustaka.bkkbn.go.id). Jumlah penyalahguna Napza dengan jarum suntik yang semakin hari semakin banyak, menurut estimasi Badan Narkotika nasional (BNN 2005) jumlah IDU (Injecting Drug User) di Indonesia berkisar 572.000 – 650.000 orang. Sementara itu, INDODC (Badan PBB yang memiliki mandat untuk pemberantasan narkotika dan kriminal) memperkirakan jumlah IDU di Indonesia tidak kurang dari 600.000 orang (Depkes RI, 2007 : 38).
Dari laporan triwulan Dirjen P2ML sampai Juni 2005 menunjukkan data propinsi yang presentasi IDU-nya besar berturut-turut adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Sumatera Utara, dan Kalimantan Barat. Lalu data P2ML sampai Desember 2004 mengemukakan fakta bahwa pengguna narkotik suntik di Indonesia yang terinfeksi HIV cukup tinggi yaitu mencapai 44%.
Dalam rangka mencegah penyebaran HIV dikalangan pengguna narkotik suntik perlu pengembangan dan perpaduan 3 pendekatan, yaitu:
1. pengurangan pemasokan (supply reduction),
2. pengurangan permintaan (demand reduction),
3. dan pengurangan dampak buruk (harm reduction).
Lebih jauh tentang Harm Reduction atau “Pengurangan Dampak Buruk” adalah pendekatan yang aman dan efektif untuk menahan serta mengurangi laju epidemi HIV, seperti yang telah berhasil diterapkan di sejumlah negara seperti Australia, Selandia Baru, Inggris, Belanda, serta Denmark. Hal ini karena Harm Reduction memiliki tujuan untuk menjaga agar penyalahguna Napza tetap hidup dalam keadaan baik serta tetap produktif sampai mereka mendapatkan layanan kesehatan yang layak atau mereka berhenti menyalahgunakan Napza, dan pada akhirnya mereka dapat bersatu kembali dengan masyarakat.
Harm Reduction sangat membantu dalam pengurangan dampak merugikan, terutama tekniknya yang dapat menarik para pengguna ketergantungan. Di beberapa negara dilakukan dengan starategi dan teknik yang berbeda-beda sesuai konteks budaya dan sosial setempat. Strategi yang termasuk dalam Harm Reduction yaitu :
- program subtitusi obat,
- program penjangkauan dan pendidikan sebaya,
- program pertukaran jarum suntik.
Program terapi subsitusi terbukti cukup efektif dalam meningkatkan rasa kesejahteraan pasien/klien, sehingga memudahkan mereka kembali ke aktivitas pekerjaan/fungsi dalam masyarakat. Salah satu program terapi substitusi adalah Program Terapi Rumatan Metadon, yaitu terapi bagi pengguna narkoba suntik untuk mengatasi masalah yang ditimbulkannya. Metadon (Dolophine, Amidone, Methadose, Physeptone, Hetadon, dan masih banyak lagi nama persamaannya) adalah sejenis sintetik opioid yang secara medis digunakan sebagai analgesic (pereda nyeri), antitusif (pereda batuk) dan sebagai terapi rumatan pada pasien dengan ketergantungan opoid. Metadon mempunyai khasiat sebagai suatu analgetik dan euforian karena bekerja pada reseptor opioid mu (µ), mirip dengan agonis opioid mu (µ) yang lain misalnya morfin.
Metadon pertama kali dikembangkan di Jerman pada akhir tahun 1930-an untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan minimnya pasokan opium mentah selama perang berlangsung. Opium mentah ini penting digunakan sebagai bahan baku morfin yang pada saat itu digunakan untuk keperluan di medan perang. Secara medis telah dilakukan uji coba oleh para ahli militer Jerman selama masa 1939-1940. Namun pada saat itu didapatkan hasil bahwa methadone ini mempunyai efek toksik dan efek ketergantunagn yang terlampau besar. Tidak ideal jika digunakan oleh tentara yang terluka di medan perang Secara resmi methadone mulai diperkenalkan sebagai rumatan kecanduan opoid semenjak dipublikasikannya sebuah penelitian oleh Prof Vincent Dole dari Rockefeller University di New York. (http://methadone.blog.com).
Terapi metadon sering juga disebut sebagai terapi rumatan karena dilakukan dalam jangka panjang, tujuan dari terapi rumatan metadon untuk menurunkan resiko yang ditimbulkan dari penggunaan narkoba suntik dan memperbaiki kualitas hidup. Terapi metadon juga dapat digunakan dalam jangka pendek untuk mengatasi gejala putus zat (terutama nerkoba suntik), namun jarang dilakukan, mengingat klien perlu mengubah kebiasaan penggunaan yang memerlukan pembiasaan hidup sehat dalam jangka panjang.
Saat ini di Indonesia telah ada beberapa program dan rumah sakit rujukan untuk para penderita HIV/AIDS. Kemudian pemerintah juga mengadakan program khusus bagi para penderita tersebut salahsatunya dengan terapi metadon. Menurut data statistik kesehatan dalam kaitannya dengan virus HIV/AIDS Kota Bogor menduduki posisi ketiga angka penderita HIV/AIDS di Jawa Barat. Sedangkan posisi pertama dan kedua adalah Bandung dan Bekasi. Data dari hasil observasi yang di dapat dari data Puskesmas Bogor Timur pada Desember 2006 yaitu penderita HIV positif di Kota Bogor berjumlah 194 orang, penderita AIDS 92 orang, meninggal karena AIDS 20 orang, dan terdapat 5530 orang kelompok beresiko. Kelompok beresiko tersebut terdiri dari 1460 orang pengguna narkoba suntik, 320 orang wanita penjaja sex, 100 orang waria, 210 MSM (Men sex men), dan 2500 orang para pasangan dan pelanggan WPS. (www.sinarharapan.co.id).
Penelitian yang dilakukan oleh Ward, Mattick & Hall (1992) atas beberapa PRM (Program Rumatan Metadon) di Amerika menunjukkan data bahwa 7% hingga 64% pasien akan meninggalkan PRM secara premature dalam enam bulan pertama. Sedangkan data sementara dari program rumatan metadon (PRM) di RSKO Jakarta menunjukkan bahwa 43% pasien hingga Agustus 2004 mengalami droup-out, dan dari 43% pasien droup-out tersebut 75% droup-out sebelum lima bulan menjalani program. Hal ini berarti efek terapeutik program metadon hanya dapat dialami oleh beberapa pasien yang mempu bertahan pada program tersebut dalam jangka panjang.
Permasalahan utama dari terapi penyembuhan penyalahgunaan NAPZA dan penyakit HIV/AIDS yaitu sebagian besar pasien berhenti mengikuti suatu program sebelum mereka merasakan efek terapeutik dari program tersebut. Sebagai contoh pada terapi metadon. Ada berbagai macam faktor yang berpengaruh dalam mempertahankan pasien pada suatu program perawatan yaitu faktor yang berasal dari pasien itu sendiri dan faktor yang berasal dari program perawatan.
Menurut Strain dkk. 1999, Faktor yang berasal dari pasien antara lain motivasi, tingkat keyakinan terhadap program (self efficacy), kepatuhan pasien, dukungan keluarga dan lain-lain. Sedangkan faktor yang berasal dari program antara lain kualitas staf klinik (termasuk hubungan yang dibangun antara staf klinik dengan pasien), kebijakan dosis, dan kebijakan biaya perawatan. Self efficacy berhubungan dengan keyakinan seseorang bahwa dia dapat mengatasi masalahnya. Dalam melakukan pengaturan dirinya terkait dengan keyakinan tersebut di dalam perilaku efektif dituntut suatu ketrampilan tertentu seperti memotivasi atau membimbing diri.
Efikasi menurut Alwisol (2004 : 360) adalah penilaian diri, apakah dapat melakukan tindakan yang baik atau buruk, tepat atau salah, bisa atau tidak bisa mengerjakan sesuai dengan yang dipersyaratkan. Sedangkan Bandura dalam teorinya mendefinisikan Self Efficacy sebagai keyakinan orang tentang kemampuan mereka untuk melakukan kontrol terhadap peristiwa yang mempengaruhi kehidupan mereka (Feist dan J. Feist, 1998 : 308). Bandura menjelaskan Self efficacy atau efficacy expectation adalah keyakinan diri sendiri mengenai seberapa bagus diri dapat berfungsi dalam situasi tertentu. Self efficacy berhubungan dengan keyakinan bahwa diri memiliki kemampuan melakukan tindakan.
Selain itu Bandura juga menjelaskan tentang harapan hasil dari Self efficacy yang disebut ekspektasi hasil (outcome expectations), yaitu perkiraan atau estimasi diri bahwa tingkah laku yang dilakukan diri itu akan mencapai hasil tertentu (Alwisol, 2004 : 360). Orang dengan Self efficacy yang tinggi percaya bahwa mereka dapat melakukan sesuatu untuk mengubah peristiwa lingkungannya, sedangkan orang dengan self efficacy yang rendah menganggap dirinya pada dasarnya memiliki ketidakmampuan dalam membuat tingkah laku yang dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut Dariyo (2004:81) Self efficacy atau efficacy diri adalah kemampuan untuk menyadari, menerima, dan mempertanggungjawabkan semua potensi keterampilan atau keahlian secara tepat. Orang yang memiliki Self efficacy akan menempatkan diri pada posisi yang tepat. Self efficacy dibedakan dari beberapa konsep lainnya. Pertama, efficacy tidak menunjuk pada kemampuan untuk membuat gerak dasar seperti berjalan, menyenyuh, atau memegang. Kedua, efficacy menyatakan secara tidak langsung bahwa kita dapat menunjukkan tingkah laku yang terencana tanpa kegelisahan, tekanan, atau ketakutan. Ketiga, penilaian efficacy tidak sama seperti tingkat aspirasi (Feist dan J. Feist, 1998:309).
Menurut Strain dkk. 1999, selain self efficacy dalam program terapi metadon khususnya faktor yang berasal dari dalam diri pasien sendiri didalamnya terlibat pula faktor kepatuhan pasien. Dalam kaitannya dengan Psikologi kesehatan, Sarafino (1990), dalam Smet (1994:250) mendefinisikan kepatuhan sebagai tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokter atau oleh orang lain. Sejauhmana pasien mematuhi nasehat-nasehat dari dokter dalam usaha penyembuhan penyakitnya. Sementara ini masih ada kecendrungan dari pasien untuk berperilaku kurang patuh terhadap nasehat atau saran tersebut. Secara umum ketidakpatuhan dapat meningkatkan resiko berkembangnya masalah kesehatan, atau memperburuk, atau memperpanjang sakit yang diderita.
Decision theory, Janis (1985) dalam Smet (1994:256) menganggap pasien sebagai seorang pengambil keputusan, dan ketaatan sebagai hasil proses pengambilan keputusan. Pasien sendirilah yang harus memutuskan apa yang akan dilakukannya dalam usaha pengobatan. Selain itu dukungan sosial juga berpengaruh terhadap kepatuhan. Secara umum orang-orang yang menerima hiburan, perhatian, dan pertolongan yang mereka butuhkan dari seseorang atau kelompok biasanya cenderung lebih mudah mengikuti nasehat medis daripada pasien yang merasa kurang mendapat dukungan sosial (DiMattco & DiNicola, 1982. dalam Sarafino, 1990:312).
Jadi bisa dikatakan agar dapat sukses dalam suatu program terapi maka pasien harus patuh pada program yang sedang dijalankannya. Lamanya waktu dimana pasien harus mematuhi suatu program mempengaruhi kepatuhan pasien terhadap program tersebut.




WBW
(Dari berbagai sumber ilmiah)



Ditulis Oleh : Wahyu Winoto, S.Pd. Hari: 6:35:00 AM Kategori:

0 komentar: